Friday, July 21, 2006
Laporan Wartawan Tribun Timur, Yusran Darmawan
DI pesisir pantai selatan, Rabu (19/7), begitu banyak nelayan yang memandang lautan. Mereka sama-sama duduk terpekur dan menyaksikan ombak yang berdebur secara teratur. Beberapa nelayan membunuh sepi dengan cara merapikan jaring yang sempat terburai. Mereka menyusun ulang secara rapi peralatan di perahunya yang sempit. Mulai dari dayung hingga bola gabus yang berfungsi untuk menahan jaring. "Saya sekarang ketakutan kalau melihat laut. Padahal, saya sadar betul kalau laut itu adalah tempat mencari nafkah," kata Sirajuddin, salah seorang nelayan sambil terpekur memandang laut.
Sirajuddin adalah nelayan yang sudah lama menetap di Cilacap, Jawa Tengah. Ia menjadi nelayan sejak tahun 1965. Meski senior, tsunami beberapa waktu lalu sempat membuatnya khawatir kalau-kalau bencana yang sama akan terjadi lagi. Tubuh Sirajuddin begitu lebam. Ototnya terlihat bertonjolan. Rambutnya memutih hingga jenggot dan kumisnya. Sambil menghisap rokok Marlboro, ia menuturkan kalau ia bukan asli Cilacap namun menjadi perantau di tempat itu.
"Saya berasal dari tempat yang sangat jauh dari tanah seberang," katanya dengan mimik serius. Dari mana? "Saya terlahir dari darah pelaut Makassar," katanya. Sayang, ia tak paham bahasa Makassar. Ia cuma mengenali beberapa patah kata saja. Ia hanya tahu kalau orangtua serta nenek moyangnya datang mencari ikan di Cilacap dan kemudian memilih untuk menetap di situ.
Perlahan, mereka bergabung dengan komunitas nelayan Cilacap dan lebur menjadi satu. Ia menuturkan, komunitas Makassar tetap tinggal di satu kawasan di dekat Kampung Baru, Cilacap. Mereka begitu bangga dengan sejarah nenek moyangnya yang begitu kemilau. Begitu bangga dengan berbagai ritus dan pencapaian nenek moyangnya. Berlayar jauh hingga mencapai Marege (Australia). Menaklukan samudera dengan hanya perahu phinisi bercadik.
Sirajuddin adalah generasi ketiga pelaut Makassar yang sudah beranak-pinak di situ.
Mereka sudah tidak lagi menampilkan ciri Makassar. Namun anehnya, Sirajuddin begitu bangga menjadi pelaut Makassar. "Saya selalu bangga kalau menyebut Makassar. Hampir semua nelayan di tanah Jawa ini mengakui kalau orang Makassar begitu jago di lautan," katanya. Di Cilacap, seluruh nelayan hidup sebagai satu kesatuan yang lebur. Ada kesamaan tutur di antara mereka. Sama-sama berbicara agak keras. Ini sangat kontras dengan kehidupan warga Cilacap yang berbahasa Jawa agak halus seperti halnya Yogyakarta. Nelayan Cilacap berasal dari berbagai etnis. Meski masih didominasi etnis Jawa, namun di situ juga ada berbagai etnis mulai dari Madura, Mandar, dan Makassar. Meski demikian, semua nelayan itu sama khawatir kalau diajak berbicara tentang tsunami. Tak terkecuali Siradjuddin. Mereka sama khawatir dan memilih untuk berhenti melaut untuk sementara. Mereka hanya memarkir perahunya di pesisir pantai sejak didera kekhawatiran akan terjadi tsunami lagi. Perahu yang terparkir itu berjumlah banyak. Semua perahu terlihat berwarna-warni. Panjang perahu itu sekitar empat meter. Di semua perahu itu juga terpasang sebuah bendera yang melambai-lambai ketika ditiup semilir angin. Di antara perahu itu, ada beberapa perahu yang terlihat porak-poranda. "Perahu itu rusak akibat diangkat gelombang tsunami. Tinggi air di pantai ini naik hingga tiga meter," kata seorang nelayan.
Ketika berita gempa kembali menggoyang Pangandaran, sontak mereka panik. Ada aura ketakutan yang terpancar dari wajah mereka. Seakan-akan mereka baru saja melalui bencana besar. Mereka lalu terdiam dan kembali menatap lautan. Mereka tak begitu khawatir karena mengingat di depan pantai Cilacap terbentang Pulau Nusakambangan. Pulau ini menjadi penghalang dari ombak besar yang datang dari arah timur. Hampir semua warga Cilacap merasa bersyukur dengan keberadaan Nusakambangan. Pulau itu tidak sekedar menjadi tempat penjara untuk narapidana kelas kakap di negeri ini. Pulau itu juga bisa menyelamatkan mereka. Meski riang karena ada Pulau Nusakambangan, nelayan itu tetap tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Mereka tahu betul betapa seluruh harga kebutuhan hidup melonjak tinggi. Namun, mereka tak bisa melaut karena khawatir akan keselamatannya. Bagi Sirajuddin, penghasilan dari melaut tak pernah jelas. Kadang ia mendapat tangkapan ikan dan dijual hingga Rp 300 ribu. Kadang tidak sama sekali. Namun, ia merasa tak punya keahlian lain selain dari pekerjaan itu. "Saya tak tahu bagaimana menghadapi hari pada minggu mendatang. Pergi melaut dalam keadaan normal saja, belum tentu dapat hasil. Apalagi kalau tidak sama sekali," katanya masygul. Lantas, apa tidak ada keinginan untuk balik Makassar? "Tidak sama sekali. Saya memang Makassar. Tapi saya juga Cilacap," katanya.
DI pesisir pantai selatan, Rabu (19/7), begitu banyak nelayan yang memandang lautan. Mereka sama-sama duduk terpekur dan menyaksikan ombak yang berdebur secara teratur. Beberapa nelayan membunuh sepi dengan cara merapikan jaring yang sempat terburai. Mereka menyusun ulang secara rapi peralatan di perahunya yang sempit. Mulai dari dayung hingga bola gabus yang berfungsi untuk menahan jaring. "Saya sekarang ketakutan kalau melihat laut. Padahal, saya sadar betul kalau laut itu adalah tempat mencari nafkah," kata Sirajuddin, salah seorang nelayan sambil terpekur memandang laut.
Sirajuddin adalah nelayan yang sudah lama menetap di Cilacap, Jawa Tengah. Ia menjadi nelayan sejak tahun 1965. Meski senior, tsunami beberapa waktu lalu sempat membuatnya khawatir kalau-kalau bencana yang sama akan terjadi lagi. Tubuh Sirajuddin begitu lebam. Ototnya terlihat bertonjolan. Rambutnya memutih hingga jenggot dan kumisnya. Sambil menghisap rokok Marlboro, ia menuturkan kalau ia bukan asli Cilacap namun menjadi perantau di tempat itu.
"Saya berasal dari tempat yang sangat jauh dari tanah seberang," katanya dengan mimik serius. Dari mana? "Saya terlahir dari darah pelaut Makassar," katanya. Sayang, ia tak paham bahasa Makassar. Ia cuma mengenali beberapa patah kata saja. Ia hanya tahu kalau orangtua serta nenek moyangnya datang mencari ikan di Cilacap dan kemudian memilih untuk menetap di situ.
Perlahan, mereka bergabung dengan komunitas nelayan Cilacap dan lebur menjadi satu. Ia menuturkan, komunitas Makassar tetap tinggal di satu kawasan di dekat Kampung Baru, Cilacap. Mereka begitu bangga dengan sejarah nenek moyangnya yang begitu kemilau. Begitu bangga dengan berbagai ritus dan pencapaian nenek moyangnya. Berlayar jauh hingga mencapai Marege (Australia). Menaklukan samudera dengan hanya perahu phinisi bercadik.
Sirajuddin adalah generasi ketiga pelaut Makassar yang sudah beranak-pinak di situ.
Mereka sudah tidak lagi menampilkan ciri Makassar. Namun anehnya, Sirajuddin begitu bangga menjadi pelaut Makassar. "Saya selalu bangga kalau menyebut Makassar. Hampir semua nelayan di tanah Jawa ini mengakui kalau orang Makassar begitu jago di lautan," katanya. Di Cilacap, seluruh nelayan hidup sebagai satu kesatuan yang lebur. Ada kesamaan tutur di antara mereka. Sama-sama berbicara agak keras. Ini sangat kontras dengan kehidupan warga Cilacap yang berbahasa Jawa agak halus seperti halnya Yogyakarta. Nelayan Cilacap berasal dari berbagai etnis. Meski masih didominasi etnis Jawa, namun di situ juga ada berbagai etnis mulai dari Madura, Mandar, dan Makassar. Meski demikian, semua nelayan itu sama khawatir kalau diajak berbicara tentang tsunami. Tak terkecuali Siradjuddin. Mereka sama khawatir dan memilih untuk berhenti melaut untuk sementara. Mereka hanya memarkir perahunya di pesisir pantai sejak didera kekhawatiran akan terjadi tsunami lagi. Perahu yang terparkir itu berjumlah banyak. Semua perahu terlihat berwarna-warni. Panjang perahu itu sekitar empat meter. Di semua perahu itu juga terpasang sebuah bendera yang melambai-lambai ketika ditiup semilir angin. Di antara perahu itu, ada beberapa perahu yang terlihat porak-poranda. "Perahu itu rusak akibat diangkat gelombang tsunami. Tinggi air di pantai ini naik hingga tiga meter," kata seorang nelayan.
Ketika berita gempa kembali menggoyang Pangandaran, sontak mereka panik. Ada aura ketakutan yang terpancar dari wajah mereka. Seakan-akan mereka baru saja melalui bencana besar. Mereka lalu terdiam dan kembali menatap lautan. Mereka tak begitu khawatir karena mengingat di depan pantai Cilacap terbentang Pulau Nusakambangan. Pulau ini menjadi penghalang dari ombak besar yang datang dari arah timur. Hampir semua warga Cilacap merasa bersyukur dengan keberadaan Nusakambangan. Pulau itu tidak sekedar menjadi tempat penjara untuk narapidana kelas kakap di negeri ini. Pulau itu juga bisa menyelamatkan mereka. Meski riang karena ada Pulau Nusakambangan, nelayan itu tetap tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Mereka tahu betul betapa seluruh harga kebutuhan hidup melonjak tinggi. Namun, mereka tak bisa melaut karena khawatir akan keselamatannya. Bagi Sirajuddin, penghasilan dari melaut tak pernah jelas. Kadang ia mendapat tangkapan ikan dan dijual hingga Rp 300 ribu. Kadang tidak sama sekali. Namun, ia merasa tak punya keahlian lain selain dari pekerjaan itu. "Saya tak tahu bagaimana menghadapi hari pada minggu mendatang. Pergi melaut dalam keadaan normal saja, belum tentu dapat hasil. Apalagi kalau tidak sama sekali," katanya masygul. Lantas, apa tidak ada keinginan untuk balik Makassar? "Tidak sama sekali. Saya memang Makassar. Tapi saya juga Cilacap," katanya.