Tuesday, March 09, 2010
Moderator milis BUGINESE memohon maaf yang sebesar-besarnya karena blog BUGINESE belum dapat diupdate secara berkala. Saat ini, blog BUGINESE sedang dalam proses migrasi ke portal BUGINESE yang baru. Mohon doanya agar portal BUGINESE dapat di-launching dalam waktu yang tidak lama.
wassalam
Munawir (Moderator Bidang Website)







Baca Artikel Selengkapnya..!
 
Oleh Lana pada pukul 10:52 PM | 0 tanggapan
Monday, March 08, 2010
Kitab La Galigo memiliki panjang sekitar 300 ribu baris. Dua kali lebih panjang dibanding Kitab Mahabharata dan Ramayana dari India.

Singapura — Layar putih panggung perlahan menggulung naik, satu-satu orang berbusana tradisional Bugis berjalan seirama kesunyian memasuki pentas. Mereka mengusung beragam perkakas sehari-hari. Disusul dua orang berbalut kain biru sepanjang enam meter merayap melintas di bibir bagian depan panggung. Selama 15 menit prolog lakon sastra epik besar I La Galigo itu penuh kesenyapan.

Saat kesunyian magis kian menyihir penonton, mendadak dihentak musik tabuh mengiringi tiga pria berpakaian laskar Bugis. Mereka melintas sambil melompat-lompat. Di akhir pementasan, adegan itu kembali muncul. Namun, mereka hanya berjalan mengusung benda-benda dalam bayangan kosong. Sesudahnya, seorang pemeran I La Galigo merosot turun dari tangga hidrolik ke bawah panggung. Inilah awal dan akhir cerita.

Tak kurang dari 2.000 penonton yang memadati gedung teater megah Esplanade, Rafless Street, Singapura, Jumat (14/3) pekan lalu memberikan apresiasi spontan. Mereka terhenyak berdiri dengan gemuruh tepuk tangan menggema selama beberapa menit. Tampak ikut berdiri, Menko Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla bersama istri, 15 rombongan dari Jakarta. Juga dedengkot Teater Koma Nano Riantiarno bersama istri, aktris Christine Hakim, Ria Irawan, dan lainnya. Hadir beberapa pengusaha, tokoh pers Djafar Assegaf hingga ekonom Sadli.


Sungguh apresiasi hebat atas epik Bugis berlakon I La Galigo yang diusung arsitek teater kontemporer dunia, Robert Wilson. Ia berhasil mengangkat epik berumur ribuan tahun yang mulai terkikis di masyarakat Bugis. La Galigo merupakan sastra unik karena memiliki gejala khas konsisten, gaya bahasa dan alur cerita. “Epik ini sederhana dan alami, karenanya saya lebih menonjolkan kreativitas artis dengan memadukan gerakan, kata-kata, teknik lampu, musik, dan imajinasi,” kata Wilson.

Keberhasilan pentas perdana ini tak lepas dari dukungan 50 aktor seniman Indonesia. Dalam kerangka artistik bersentuhan teknologi, penari dari Sulawesi Selatan, Jawa, Bali, Sumatera, dan Papua membuat cerita menjadi hidup. Selepas tiga hari di Singapura, I La Galigo terbang ke Amsterdam, Barcelona, Lyon, Ravenna, Italia, dan New York.

I La Galigo sejatinya karya sastra Bugis kuno yang berisi tentang genesis orang Bugis dan filosofi kehidupan manusia. Menurut peneliti Belanda Roger Tol, kitab La Galigo memiliki panjang sekitar 300 ribu baris. Dua kali lebih panjang dibanding Mahabharata dan Ramayana serta sajak-sajak Homerus dari Yunani sepanjang 160-200 ribu baris. Peneliti La Galigo selama 25 tahun ini juga menilai gaya bahasanya sangat indah.

Sedikit dialog Robert Wilson membuka lakon ini dengan gaya tengok belakang. Awal cerita menampilkan seorang pria berpakaian Kerajaan Cina, duduk bersila membaca kitab I La Galigo yang ditulis dengan bahasa Lontar. Ia menampilkan kisah yang praktis berurutan, sejak cerita tentang kakek dan kemudian giliran ayah, dan terakhir tentang I La Galigo. Selama tiga jam tampak adegan-adegan yang terharmonisasi tarian dan musik tradisional, serta kilatan permainan cahaya. Dialog bisu di atas panggung dihidupkan 70 alat musik Bugis.

Tampak sekali Robert mengangkat teks-teks kuno berwujud puisi menjadi cerita epik sederhana. Ia ingin membawanya ke dunia masa kini yang jarang diketahui orang. Maka, ia meminimalkan dialog, yang dibawakan “dalang” pendeta bissu asli Puang Matoa Saidi. Dialog maupun cerita ringkas dalam bahasa Bugis yang dilantunkan. Untuk menuntun plot dalam bahasa Lontar halus, disediakan terjemahan bahasa Inggris di papan teks sisi kiri panggung.

Tari garapan Andi Ummu Tunru menguatkan La Galigo sebagai tradisi tua. Tari Pakarena dari Makassar, Pajoge dari Bone, Pajaga dari Luwu, Pegellu dari Toraja, dan Pamanca dari Gowa. Kostum garapan Joachim Herzog dengan warna mencolok menegaskan karakter para tokoh. Patoteque putih bersih, tokoh Batara Guru merah, tokoh Sawerigading kuning.

Kilatan permainan lampu mengganti warna-warna latar belakang cerdas mendukung penonjolan tokohnya. Sorotan snap shot menimbulkan efek tiga dimensi. Gemuruh musik perpaduan perkusi, sayatan rebab juga menyuguhkan suasana berbeda-beda.

Sebelum pementasan, Andi Ummu Tunru yang mengenakan gaun panjang cokelat kepada Koran Tempo mengatakan, penggarapan karya ini menjalani proses panjang. Mereka harus melakukan penelitian tentang kitab La Galigo selama tiga tahun. Begitu juga membuat seminar terbuka penggalian sastra La Galigo. Selepas itu, terbentuk kesepakatan menampilkannya berupa pementasan. “Persiapan pentas perdana di Singapura dilakukan selama dua minggu,” katanya.

Mereka berlatih tiga kali sepekan di Benteng Fort Rotterdam, Singapura. Sebelumnya, para seniman harus belajar Pamanca di Desa Paopao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Latihan selalu berlangsung pada pukul 23.00-04.00 Wita. Latihan ditutup dengan ritual maccera, yaitu memotong ayam sebagai pertanda syukur.

Cikal bakal pertunjukan ini ketika penari Restu Kusumaningrum, koordinator artistik produksi, bersama Rhoda Grauer, produser seni dan penulis naskah lakon ini, sepakat mewujudkannya menjadi seni pertunjukan. Bersama Rahayu Supanggah mereka membuat presentasi di studio Robert Wilson di New York, dan berhasil menggaet Change Performing Arts (Italia) sebagai sponsor.

Kitab La Galigo mulanya dikumpulkan Raja Paccana, Colliq Pujie, dari lembaran-lembaran daun lontar. Ia hidup pada 1812-1876. Statusnya sebagai Raja Tanete tidak menghalangi kerjanya. Saat itu, Kabupaten Barru masih terbagi empat kerajaan: Tanete, Balusu, Malluisetasi, dan Barru.

Naskah La Galigo tersebar di beberapa negara. Selain empat di Inggris dan beberapa naskah di Belanda, lima naskah La Galigo juga tersimpan di Library of Congress Washington DC, Amerika Serikat. Naskah-naskah tersebut, Bugis (1) War betw Two Rajahs, Bugis (2) Day of Judgement-fr. The Koran, Bugis (3) A Tale, Bugis (4) A Rajah’s courtship, Bugis (5) Marriage froms, etc.

Peneliti sastra Universitas Hasanuddin, Makassar, Nurhayati Rahman, menjelaskan, kitab asli La Galigo tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah itu dibawa Dr. Benjamin Frederik Matthes sekitar 1800-an. Awalnya, Matthes dikirim ke Sulawesi Selatan oleh Nederlands Bijbelgenootschap untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bugis dan Makassar. Pulang ke Belanda, ia membawa 25 naskah Sureq La Galigo.

Rencana pementasan La Galigo sempat menuai protes medio tahun lalu. Proyek lakon ini dinilai banyak mencangkokkan unsur-unsur luar Bugis. Padahal, unsur-unsur Bugis yang menjadi landasannya justru ditinggalkan. Para seniman Sulawesi Selatan berpandangan pementasan itu bisa membangun persepsi keliru tradisi dan syair kepahlawanan yang mengakibatkan jiwa La Galigo tak utuh. Para peneliti, ilmuwan, dan seniman yang terlibat sejak awal proyek La Galigo malah ditinggalkan.

Nurhayati menjelaskan, Rhoda Grauer dan Restu Kusumaningrum dari Bali Purnati Centre for The Art, tidak menghargai hak intelektual dan para peneliti La Galigo. Padahal, Rhoda Restu hanya sebagai penghubung dengan sutradara Robert Wilson. Konon, kontroversi ini yang membuat pementasan La Galigo tidak digelar di Tanah Air. Kontroversi tersebut ditepis Jusuf Kalla yang menyebut tidak tersedianya gedung representatif sebagai penyebab.

Peneliti La Galigo yang lain, Muhammad Salim, mengatakan tidak mungkin melakonkan utuh La Galigo. Sebab lebih panjang dari epos Mahabharata dan petualangan tokoh utamanya sebanding dengan kisah Ulysses dalam Odyssey karya Homer. Diambillah keputusan mengambil salah satu bagian terpenting: awal mula manusia di bumi.

Sumber : www.korantempo.com


Baca Artikel Selengkapnya..!
 
Oleh Lana pada pukul 10:50 PM | 2 tanggapan
Friday, April 25, 2008
Oleh : Ishak

Rumah bugis memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain ( Sumatera dan Kalimantan ). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tanbahan disamping bangunan utama dan bagian depan [ orang bugis menyebutnya lego - lego ].

Bagaimana sebenarnya arsitektur dari rumah panggung khas bugis ini ?. Berikut adalah bagian - bagiannya utamanya :

1. Tiang utama ( alliri ). Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. tetapi pada umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.
2. Fadongko’, yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap barisnya.
3. Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya.



Mengapa orang bugis suka dengan arsitektur rumah yang memiliki kolong ? Konon, orang bugis, jauh sebelum islam masuk ke tanah bugis ( tana ugi’ ), orang bugis memiliki kepercayaan bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian, bagian atas ( botting langi ), bagian tengah ( alang tengnga ) dan bagian bawagh ( paratiwi ). Mungkin itulah yang mengilhami orang bugis ( terutama yang tinggal di kampung, seperti diriku ) lebih suka dengan arsitektur rumah yang tinggi. Mengapa saya suka ? karena saya orang bugis… hehehe.. :) . Sebenarnya bukan karena itu, tetapi lebih kepada faktor keamanan dan kenyamanan. Aman, karena ular tidak dapat naik ke atas ( rumahku di kampung tingginya 2 meter dari tanah ). Nyaman, karena angin bertiup sepoi-sepoi, meskipun udara panas.. Wong rumahnya tinggi, hehehe

Bagian - bagian dari rumah bugis ini sebagai berikut :

1. Rakkeang, adalah bagian diatas langit - langit ( eternit ). Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen.
2. Ale Bola, adalah bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah ( posi’ bola ).
3. Awa bola, adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.

Yang lebih menarik sebenarnya dari rumah bugis ini adalah bahwa rumah ini dapat berdiri bahkan tanpa perlu satu paku pun. Semuanya murni menggunakan kayu. Dan uniknya lagi adalah rumah ini dapat di angkat / dipindah.. simple kan. :)


Baca Artikel Selengkapnya..!
 
Oleh Lana pada pukul 3:45 PM | 84 tanggapan
Thursday, April 24, 2008
RESENSI
Judul : Manusia Bugis
Penulis : Christian Pelras
Penerbit : Nalar, Jakarta
Tahun : Februari 2006
Hal. : xxxxiv + 450 hlm.


Oleh : Wong Deso

Melalui tangan Denys Lombard Jawa terkupas. Bahwa Jawa yang adiluhung itu ternyata dipengaruhi oleh budaya Eropa-Islam-Cina-dan India. Empat diantara ”pembentuk” Jawa terangkum dalam 3 jilid Nusa Jawa: Silang Budaya, Denys Lombard.

Melalui bukunya tersebut, Lombard memang tak hendak menunjukan autentitas manusia Jawa yang terbentuk karena persilangan pelbagai budaya. Meski tersirat, Lombard menyatakan bahwa persilangan pelbagai budaya itu bukan petaka tetapi anugerah. Kebudayaan Jawa semakin kompleks.

Meskipun kompleks dan pengaruh kebudayaan asing masuk, Jawa selalu bisa membatasi dirinya untuk tak menelan mentah setiap kebudayaan yang masuk. Dengan begitu tiap kebudayaan asing yang masuk, tak benar-benar bisa meluluhlantakan Jawa. Itulah sebenarnya yang dapat dipetik ketika membaca hamparan pengetahuan akan Jawa yang ditulis Denys Lombard.

Konon selain Jawa, Bugis ternyata tak kalah istimewa. Christian Pelras rekan Lombard yang datang dari Perancis dengan Manusia Bugis-nya telah membuktikannya. Bugis nyata tak sekadar meninggalkan epik panjang, La Galigo tetapi juga kebudayaan-kebudayaan adiluhung yang lain. Doktor Antropologi dari Sorbonne ini secara terang-terangan menunjuk beberapa keistimewaan dan juga kontradiksi sejarah pengagunggan kebudayaan Bugis. Pelras mencatat keistimewan Bugis terletak pada autentitas kebudayaan mereka. Autentitas itu dapat ditilik dari beberapa segi.

Pertama, masyarakat Bugis sebenarnya bukanlah masyarakat maritim. Pelayaran Bugis baru dimulai abad ke-18. Sementara Pinisi, kapal hebat dari Bugis itu, bentuk dan modelnya sebenarnya ada di penghujung abad ke-19 sampai dekade 1930-an. pernyataan Pelras seperti ini yang membedakan dengan cerita yang beredar selama ini. Menurut Pelras, masyarakat Bugis “asli” sebenarnya petani.

Hal ini dimungkinkan dengan masyarakat Bugis kuno yang tinggal di sekitar danau Poso di pedalaman Sulawesi yang tak memungkinkan untuk melakukan pelayaran. Sungai-sungai yang menghubungkan pedalaman dengan laut tak bisa digunakan untuk jalur pelayaran. Orang Bugis gemar melayar ketika di abad ke-18 mereka mulai bermigrasi ke Makasar. Makasar adalah kota pelabuhan besar di Nusantara, di sanalah orang Bugis menetap dan memulai pelayarannya.

Kedua, berbeda dengan Jawa yang menurut Lombard dibentuk arus budaya dan meski terjadi batas-batas pembaratan. Jaringan pelayaran Asia yang memungkinkan budaya Arab dan Cina masuk ke Jawa. Warisan India dengan kerajaan-kerajaan konsentrisnya. Bugis menurut Pelras dapat menghindar dari pengaruh-pengaruh asing itu. Meskipun demikian, Pelras tak memungkiri bahwa telah terjadi persinggungan kebudayan antara Bugis dengan kebudayaan lain. Gejala itu tak bisa dipungikiri ketika modernitas Barat merasuk ke hampir seluruh persendian kebudayaan dunia.

Autentitas kebudayaan Bugis dapat dirunut dari kronik sejarah Bugis. Pengaruh India yang datang lebih awal ke Nusantara tak banyak bepengaruh. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya artefak-artefak corak India yang tertinggal di Bugis. Majapahit pun yang konon menguasai Bugis tak meninggalkan banyak pengaruh di Bugis. Orang Bugis mengatakan Majapahit sekadar mengklaim, tak pernah benar-benar menguasai Bugis.

Demikian pula dengan pengaruh Islam (pedagang Arab) dan Kristen (Portugis dan Belanda) yang saling berebut pengaruh datang ke Bugis pada abad ke 16. Pada akhirnya Islam dapat memenangkan “kompetisi” itu setelah Portugis terdepak dan Belanda masuk ke Makasar. Namun kolonialisme Belanda pun ternyata kalah pengaruh dari Islam. Kemenangan itu tak lepas dari pengaruh Islam yang terlebih dulu mengislamkan kerajaan-kerajaan di Sulawesi.

Ketiga, penempatan perempuan menjadi simbol dari keunikan dari tradisi Bugis sekaligus menunjukan bahwa Islam pun tak sepenuhnya diadopsi. Masyarakat Bugis tradisional mengijinkan perempuan menjadi pemimpin. Inilah yang membedakan antara kepemimpinan Islam dengan kepemimpinan Bugis. Kata Pelras, di Bugis perbedaan gender dengan menempatkan perempuan sebagai second sex tak nampak. Pembagian kerja misalnya, bukan didasarkan atas jenis kelamin, lelaki pun bisa melakukan pekerjaan halus dan begitu sebaliknya dengan perempuan.

Di sinilah perbedaan Lombard dan Pelras terlihat jelas. Jika Lombard dalam Nusa Jawa, Silang Budaya sedikit membahas perempuan Jawa, maka Pelras sebaliknya membahas banyak tentang perempuan Bugis yang ditempatkan tak sekadar kanca wingking. Bahkan menunjukan bagaimana masyarakat Bugis melindungi para perempuan. Perlindungan itu atas dasar keyakinan bahwa lelaki memiliki libido tinggi dibanding perempuan. Bukan atas dasar anggapan bahwa perempuan itu lemah, dan layak mendapat perlindungan.

Berbeda dengan Lombard yang melakukan riset pustaka, penelitian terlibat yang dilakukan Pelras pun berhasil membedah para transeksual yang justru mendapat penghormatan dari masyarakat Bugis. Penghormatan masyarakat Bugis terhadap Bissu menjadi bukti bahwa kearifan kuno masih dipertahankan hingga kini, di tengah-tengah pandangan yang menyatakan kentalnya ke-Islam-an orang Bugis. Penghormatan terhadap bissu itu tak lepas dari anggapan keyakinan kuno bahwa Yang Maha memiliki dua sifat: lelaki dan perempuan. Bissu adalah orang yang merepresentasikan sifat-sifat yang Maha itu seperti yang orang Bugis tulis dalam epos panjang, La Galigo.

Keempat, La Galigo adalah bukti keistimewaan Bugis dan bagi tulisan Pelras. Epos La Galigo adalah catatan lengkap bagi Bugis. Dari sanalah segala sumber pengatahuan tentang Bugis terangkum. Termasuk juga tentang konsepsi kepercayaan orang Bugis. Oleh karena itu kepercayaan-kepercayan itu masih dipegang oleh sebagian orang Bugis hingga kini. Pelras berpendapat bahwa eksistensi konsepsi kepercayaan itu dikonstruk oleh bangsawan Bugis untuk memperkukuh status sosial mereka yang konon keturunan Sawe’rigeding (hlm. 103).

Keistimewaan La Galigo bagi Pelras adalah mendasari penelitiannya. Pelras ingin membuktikan bahwa La Galigo yang bertautan dengan mitos-mitos senyatanya ada dan dapat dibuktikan secara empiris melalui penelitiannya. Pelras meyakini bahwa La Galigo merupakan catatan sejarah dan etnografi Bugis yang dapat dipercaya. Oleh karena itu ia akan menerbitkan buku Regards nouveaux sebagai pembuktiannya atas La Galigo.

Namun uniknya dari serangkain ulasan panjang dalam buku ini, Pelras mengakhiri tulisannya dengan bahasan tentang Elit Modern dan Pemimpin Baru, Usahawan Bugis Kontemporer dengan mengambil sampel “Dinasti Kalla” (hlm. 381). Bahasan itu diawali dengan pernyataan Pelras yang terang mengatakan merosotnya peran bangsawan Bugis dalam perekonomian. Apa maksud Pelras dengan mengambil sampel keluarga Kalla? Autentikah niatnya? kita tunggu saja jawabannya di terjemahan Regards Nouveaux.



Baca Artikel Selengkapnya..!
 
Oleh Lana pada pukul 3:28 AM | 5 tanggapan
Sunday, March 23, 2008
Tidak seperti bahagian Asia Tenggara yang lain, Bugis tidak banyak menerima pengaruh India di dalam kebudayaan mereka. Satu-satunya pengaruh India yang jelas ialah tulisan Lontara yang berdasarkan skrip Brahmi, dimana ianya dibawa melalui perdagangan. Kekurangan pengaruh India, tidak seperti di Jawa dan Sumatra, mungkin disebabkan oleh komuniti awal ketika itu kuat menentang asimilasi budaya luar.

Perubahan Dari Zaman Logam

Permulaan sejarah Bugis lebih kepada mitos dari sejarah lojik. Di dalam teks La Galigo, populasi awal adalah terhad dan terletak di persisiran pantai dan tebing sungai dan penempatan ini dihubungi dengan pengangkutan air. Penempatan di tanah tinggi pula didiami oleh orang Toraja. Penempatan-penempatan ini bergantung kepada salah satu daripada tiga pemerintahan iaitu Wewang Nriwuk, Luwu' dan Tompoktikka. Walaubagaimanapun, pada abad ke 15, terdapat kemungkinan penempatan awal tersebar di seluruh Tana Ugi, malahan jauh ketengah hutan dimana tidak dapat dihubungi melalui pengangkutan air. Mengikut mitos, terdapat migrasi yang ingin mencari tanah baru untuk didiami. Implikasi penempatan ditengah-tengah hutan ini ialah perubahan fizikal hutan, dimana hutan-hutan ditebang dan proses diteruskan sehingga abad ke20.

Teknik Dan Perbedaan Ekonomi

Penebangan hutan ini mungkin seiring dengan pembuatan besi untuk membuat alat-alat tertentu seperti kapak. Malahan, pemerintah pertama (mengikut sejarah) kerajaan Bone memakai gelaran 'Panre Bessi' atau 'Tukang Besi'. Selain itu, terdapat juga hubungan yang cukup rapat diantara pemerintah Sidenreng dengan penduduk kampung Massepe, tempat penumpuan pembuatan alatan besi oleh orang Bugis dan tempat suci dimana 'Panre Baka' ('Tukang Besi Pertama') turun dari Syurga/Langit. Walaubgaimanapun, sesetengah mengatakan 'Panre Baka' berasal dari Toraja.

Satu lagi inovasi yang diperkenalkan ialah penggunaan kuda. Walaupun tidak disebut di dalam teks La Galigo, menurut sumber Portugis, pada abad ke16, terdapat banyak penggunaan kuda di kawasan gunung. Maka, inovasi ini mungkin diperkenalkan antara abad ke 13 dan abad ke 16. Maksud kuda di dalam Bahasa Bugis , ialah 'anyarang' (Makassar: jarang), cukup berbeza dengan Bahasa Melayu, malahan ianya diambil dari Jawa ( 'jaran' ). Perkataan ini mungkin digunakan pada abad ke14, ketika Jawa diperintah oleh Majapahit.

Pertambahan penduduk memberi kesan kepada teknik penanaman padi. Teknik potong dan bakar digantikan dengan teknik penanaman padi sawah. Penanaman padi sawah terang-terangan diimport kerana penyuburan sawah (plough) di dalam Bahasa Bugis ialah 'rakalla' berasal dari perkataan 'langala' yang digunakan hampir seluruh Asia Tenggara, contohnya Cam, 'langal', Khmer, angal dan Bahasa Melayu, tengala. Teknik 'rakalla' ini digunakan di India dan sebahagian Asia Tenggara, manakala sebahagian lagi daripada Asia Tenggara diambil dari China. Ini sekaligus membuktikan wujudnya perhubungan diantara Sulawesi Selatan dengan bahagian barat Asia Tenggara selain Jawa.

Perubahan di dalam bidang ekonomi berhubung kait dengan pertambahan penduduk di tangah-tengah benua. Pada mulanya, sumber ekonomi majoriti populasi Bugis ialah penanaman padi manakala golongan elit mengawal sumber-sumber asli dari hutan, perlombongan dan sumber-sumber dari laut. Sumber-sumber asli ini mendapat permintaan dari luar Sulawesi dan ini membolehkan golongan elit memperdagangkan sumber-sumber ini dan membolehkan mereka membeli barang-barang mewah dari luar seperti seramik China, Sutera India, cermin etc. Walaubagaimanapun, pengawalan pertanian oleh golongan elit masih memainkan peranan penting ketika itu.

Perubahan Sosio-Politik

Implikasi terakhir dari penyebaran etnik Bugis keseluruh Sulawesi Selatan ialah perubahan didalam politik. Kerajaan-kerajaan lama Bugis iaitu Luwu', Sidenreng, Soppeng dan Cina (kemudiannya menjadi Pammana) masih berkuasa tetapi mungkin terdapat pembaharuan didalam pentadbiran ataupun pertukaran dinasti. Kuasa-kuasa kecil muncul di penempatan-penempatan baru ( 'wanua' ) dan diperintah oleh seorang ketua digelar 'matoa' atau 'arung'. Sesetengah penempatan awal ini (tidak disebut didalam La Galigo) seperti Bone, Wajo dan Goa kemudiannya menjadi kerajaan-kerajaan utama.

Walaubagaimnapun, sesetengah kerajaan yang disebut di dalam teks La Galigo seperti Wewang Nriwu' dan Tompoktikka 'hilang' di dalam rekod sejarah, dan ini menyebabkan sesetengah sejarahwan percaya bahawa kerajaan-kerajaan ini tidak wujud sama sekali.

Kontranya, terdapat perubahan didalam sosio-politik yang nyata di permulaan teks sejarah iaitu wujudnya satu perhubungan kontrak di antara pemerintah dan pa'banua (rakyat negeri tersebut yang merupakan orang kebanyakkan.) Di dalam masyarakat awal, keselamatan dan sumber pendapatan penduduk (seperti mendirikan rumah, memberi kerja dan membekalkan keperluan tertentu) merupakan tanggungjawab pemerintah. Situasi ini berbeza sekali seperti di dalam teks La Galigo di mana pemerintah tidak perlu membekalkan apa-apa kepada penduduk.

Perubahan Agama

Kesinambungan dari zaman logam diteruskan di dalam bidang keagamaan. Bissu (bomoh) kekal menjadi elemen penting di dalam hal-hal keagamaan sebelum kedatangan Islam. Perubahan di dalam bidang keagamaan ialah pembakaran mayat dan debu bagi orang-orang terpenting di simpan di dalam tempat penyimpanan debu (bersaiz seperti labu) manakala tempat pembakaran mayat disebut Patunuang. Walaubagaimanapun, pembakaran mayat terhad kepada tempat-tempat tertentu. Menurut sumber Portugis, Makassar mengekalkan teknik penanaman mayat dan Toraja pula membiarkan mayat reput di gua-gua.

Pemerintah-pemerintah awal pula tidak ditanam mahupun dibakar dan mereka dikatakan 'hilang', bermaksud kembali ke syurga. Menurut sumber, mayat-mayat pemerintah awal dibiarkan bersandar di pokok reput sehingga tinggal tulang. Mayat bayi pula di tenggelamkan di sungai ataupun laut.

Kerajaan-Kerajaan Awal Bugis

Di akhir abad ke 15, Luwu', yang dianggap sebagai ketua bagi komuniti Bugis, mendominasi kebanyakkan kawasan di Tana Ugi termasuklah tebing Tasik Besar, sepanjang sungai Welennae, tanah pertanian di sebelah timur, sepanjang persisiran pantai yang menghadap Teluk Bone, Semenanjung Bira, Pulau Selayar dan Tanjung Bataeng. Walaubagaimanapun, kerajaan ini mula menghadapi tentangan dari kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya.

Situasi Politik Di Akhir Abad ke 15

Pada awal abad ke 15, Luwu' menguasai Sungai Cenrana yang menghubungi Tasik Besar. Penempatan Luwu' pula terletak di muara sungai Cenrana, manakala di hulu sungai pula terdapat beberapa kerajaan kecil. Luwu' cuba mengekalkan pengaruhnya di bahagian barat, di jalan perhubungan antara Selat Makassar dan Sungai Cenrana melalui Tasik Besar, untuk mengawal perdagangan sumber-sumber asli di sebelah barat, mineral dari pergunungan Toraja dan sumber pertanian sepanjang Sungai Welennae. Walaubagaimanapun, Sidenreng, terletak di bahagian barat Tasik Besar telah memilih untuk berlindung di bawah Soppeng. Pada masa yang sama, Sawitto', Alitta, Suppa', Bacukiki' dan Rappang, juga terletak di sebelah barat telah membentuk satu konfederasi dinamakan ' Aja'tappareng ' (tanah disebelah barat tasik) sekaligus menyebabkan Luwuk hilang pengaruh di atas kawasan ini.

Malahan, sesetengah penempatan-penempatan Bugis mula enggan berada dibawah pemerintahan Luwu'. Di hulu Sungai Cenrana pula, kerajaan Wajo' sedang membangun dan mula menyebarkan pengaruhnya untuk mengawal kawasan sekelilingnya. Manakala pemerintah-pemerintah di kawasan sekeliling Wajo' pula di gelar 'Arung Matoa' bermaksud Ketua Pemerintah. Sekitar 1490, salah seorang dari pemerintah ini membuat perjanjian dengan Wajo', dan sekaligus meletakkan Luwu' dibawah pengaruh Wajo'. Pada tahun 1498 pula, penduduk Wajo' melantik Arung Matoa Puang ri Ma'galatung, seorang pemerintah yang disegani oleh orang Bugis, dan berjaya menjadikan Wajo' sebagai salah satu kerajaan utama Bugis.

Di sebelah selatan pula, Bone, di bawah pemerintahan Raja Kerrampelua, sedang meluaskan sempadannya di kawasan pertanian sekaligus membantu ekonomi Bone, menambah kuasa buruh dan kuasa tentera.

Penempatan Bugis yang disebut di dalam La Galigo kini terletak di bawah pengaruh kerajaan-kerajaan yang membangun. Soppeng pula terperangkap di antara Sidenreng, Wajo' dan Bone manakala penempatan di tanah tinggi cuba keluar dari pengaruh Luwu' dan pada masa yang sama ingin mengelakkan pengaruh kerajaan-kerajaan yang sedang membangun.

Kejatuhan Luwuk

Tempoh antara 1500 dan 1530 menyaksikan kerajaan Luwu' mula merosot. Ketika itu, Luwu' diperintah oleh Dewaraja, seorang pahlawan yang hebat. Didalam pertemuan diantara Dewaraja dan Arung Matoa Puang ri Ma'galatung pada tahun 1508, Dewaraja bersetuju untuk menyerahkan kawasan-kawasan di sepanjang Sungai Cenrana kepada Wajo' sebagai pertukaran Wajo' hendaklah membantu Luwu' menguasai Sidenreng dimana Sidenreng berjaya dikuasai oleh Luwuk dan Sidenrang terpaksa menyerahkan kepada Wajo' kawasan timur laut dan utara Tasik Besar.

Pada tahun 1509, Luwu' menyerang Bone untuk menyekat kuasa Bone tetapi ketika itu, Bone sudah pun menjadi sebuah kerajaan yang kuat dan tentera Luwuk mengalami kekalahan. Malahan Dewaraja, walaupun berjaya melarikan diri, hampir dibunuh jika tidak kerana amaran pemerintah Bone kepada tenteranya untuk tidak 'menyentuh' ketua musuh Bone. Walaubagaimanapun, Payung Merah milik Luwu' yang menjadi simbol ketuanan tertinggi berjaya dimiliki Bone sekaligus mengakhiri ketuanan Luwu' di negeri-negeri Bugis. Walaubagaimanapun, ketuanan Luwu' masih disanjung tinggi dan dihormati oleh kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan. Bila penggantinya Dewaraja mangkat, Wajo' menyerang Luwu' dan meluaskan pengaruhnya di daerah-daerah Luwu'. Ini membolehkan Wajo' menguasai beberapa kawasan-kawasan yang strategik.

Kemunculan Makassar

Pada masa yang sama, berlakunya peristiwa-peristiwa penting di sebelah barat dan selatan Sulawesi Selatan. Siang ketika itu masih lagi menjadi kuasa utama di persisiran barat Makassar dan Bantaeng (ketika itu dibawah penagruh Luwu') di sebelah selatan manakala terdapat dua penempatan Makassar iaitu Goa dan Tallo' yang mula membangun dan meluaskan pengaruh mereka.

Mengikut sumber yang diragui kesahihannya, Goa dan Tallo' pada mulanya adalah satu negeri. Pada sekitar abad ke 15, Raja Tunatangka'lopi membahagikan kawasan itu kepada dua orang puteranya menjadi Goa dan Tallo'. Terdapat juga kisah yang lain di mana dibawah Raja Daeng Matanre' (1510-1547), suatu pejanjian telah dibuat. Mengikut perjanjian tersebut, Goa dan Tallo' akan menjadi kerajaan kembar, di mana terdapat dua pemerintah tetapi satu kerakyatan. Sesiapa yang cuba menentang perjanjian ini akan dihukum oleh Tuhan. Peristiwa ini mengikut Bulbeck('History Archeology':117) berlaku selepas 1535. Peta Sulawesi yang dilukis Portugis pertama kali pada tahun 1534 tidak menyentuh tentang Goa, dan hanya memeta 'Siom"(Siang), 'Tello'(Tallo') dan 'Agacim'(Garassi'). Mengikut penulisan Antonio de Paiva, Goa, (di mana didalam penulisannya merujuk kepada Bandar Besar) yang kemudiannya muncul di peta Portugis, sebelumnya dianggap di bawah pengaruh Siang. Sebaliknya kerajaan Tallo' yang dibawah pengaruh Siang dan kemudiannya dibawah pengaruh Goa. Goa kemudiannya menguasai Garassi', sebuah pelabuhan yang menghubungkan Jawa, sekaligus membolehkan Goa mengawal perdagangan laut.

Permualaan sejarah Goa dan Tallo' berlaku di akhir abad ke 15, tetapi laporan mengenai peristiwa-peristiwa yang berlaku di kedua-dua kawasan itu masih tidak jelas. Polisi perluasan kuasa mungkin bermula ketika zaman pemerintahan Raja Daeng Matenre, Goa, dan berterusan selama dua abad selepasnya. Antara daerah-daerah yang dikuasainya ialah Bajeng, sekutu-sekutu Tallo', kawasan-kawasan di bawah pengaruh Bantaeng dan Gantarang.

Kejayaan kerajaan kembar ini, lebih dikenali dikalangan pedagang asing sebagai sebuah 'negara' digelar Makassar. Ianya boleh dikatakan satu gabungan yang bijak di mana pemerintah Goa meneruskan penguasaan wilayah manakala pemerintah Tallo', yang mendapati potensi Makassar sebagai pelabuhan yang berjaya, menumpukan bahagian perdagangan. Ini kemudiannya menjadikan Makassar salah satu kuasa yang kuat di Sulawesi Selatan.

Kemangkatan Dewaraja, pemerintah Luwuk, menyebabkan berlakunya perbalahan dinasti. Daeng Mantare membantu Bone menawan Luwuk di mana ketika itu pemerintahan Luwuk dituntut oleh Sanggaria. Pada sekitar tahun 1535, Sanggaria kemudiannya mendapatkan perlindungan di Wajo'. Kesempatan ini direbut oleh Bone dan Goa di mana Luwuk kemudiannya terpaksa menandatangani perjanjian mengakui kekalahannya dan akan menyertai Goa, Bone dan Soppeng menentang Wajo' atas tindakan Wajo' yang bersifat neutral ketika peperangan berlaku. Ini menyebabkan Wajo' terpaksa menukar ikrar setianya dari Luwuk kepada Goa. Sanggaria kemudiannya dibenarkan menjadi raja Luwuk tanpa kuasa.

Sumber : The Bugis, Christian Pelras


Baca Artikel Selengkapnya..!
 
Oleh Lana pada pukul 2:17 PM | 1 tanggapan
Tuesday, February 12, 2008
Dari sembilan raja yang memerintah di Malaysia, ternyata pada umumnya merupakan keturunan Raja Bugis dari Kerajaaan Luwu, Sulawesi Selatan.

Hal itu terungkap pada Seminar Penelusuran Kerabat Raja Bugis, Sulsel dengan raja-raja Johor-Riau-Selangor, Malaysia di Makassar, Rabu.

"Berdasarkan hasil penelusuran silsilah keturunan dan tinjauan arkeologi diketahui, 14 provinsi di Malaysia, sembilan diantaranya diperintah oleh raja yang bergelar datuk (dato`) atau sultan, sedang empat provinsi lainnya diperintah gubernur yang bukan raja," kata Prof Emeritus Dato` Dr Moh Yusoff bin Haji Hasyim, President Kolej Teknologi Islam Antarbangsa Melaka.

Menurut dia, dari segi silsilah, kesembilan raja yang memiliki hak otoritas dalam mengatur pemerintahannya itu, berasal dari komunitas Melayu-Bugis, Melayu-Johor dan Melayu-Minangkabau.

Sebagai contoh, lanjutnya, pemangku Kerajaan Selangor saat ini adalah turunan dari Kerjaan Luwu, Sulsel.

Merujuk Lontar versi Luwu` di museum Batara Guru di Palopo dan kitab Negarakerjagama, menyebutkan tradisi `raja-raja Luwu` ada sejak abad ke-9 masehi dan seluruh masa pemerintahan kerajaan Luwu terdapat 38 raja.

Raja yang ke-26 dan ke-28 adalah Wetenrileleang berputrakan La Maddusila Karaeng Tanete, yang kemudian berputrikan Opu Wetenriborong Daeng Rilekke` yang kemudian bersuamikan Opu Daeng Kemboja.

"Dari hasil perkawinannya itu lahir lima orang putra, masing-masing Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Cella`, Opu Daeng Manambong dan Opu Daeng Kamase," paparnya sembari menambahkan, putra-putra inilah yang kemudian merantau ke Selangor dan menjadi cikal bakal keturunan raja-raja di Malaysia hingga saat ini.

Lebih jauh dijelaskan, dengan penelusuran sejarah dan silsilah keluarga itu, diharapkan dapat lebih mendekatakan hubungan antara kedua rumpun Melayu yakni Melayu Selangor dan Bugis.

Menurut Moh Jusoff, dari segi kedekatan emosional, silsilah dan genesitas komunitas di Malaysia dan Indonesia tidak bisa dipisahkan. Hanya saja, belum bisa merambah ke persoalan politik karena ranah politik Malaysia berbeda dengan politik Indonesia termasuk mengenai tata pemerintahan dan kemasyarakatannya.

Sementara itu, Andi Ima Kesuma,M.Hum, pakar kebudayaan dari Universitas Hasanuddin (Unhas) yang juga Kepala Museum Kota Makassar mengatakan, kekerabatan keturunan raja-raja di Malaysia dan raja-raja Bugis di Sulsel tertuang dalam Sure` Lagaligo maupun dalam literatur klasik lainnya.

"Hanya saja, gelaran yang dipakai di tanah Bugis tidak lagi digunakan di lokasi perantauan (Malaysia) karena sudah berasimilasi dengan situasi dan kondisi di lokasi yang baru," katanya.

Gelar Opu dang Karaeng yang lazim digunakan bagi keturunan raja rai Luwu dan Makassar tidak lagi dipakai di Malaysia melainkan sudah bergelar tengku, sultan atau dato`

Sumber : Antara



Baca Artikel Selengkapnya..!
 
Oleh Lana pada pukul 9:04 AM | 45 tanggapan