Jika anda ingin menikmati angkutan murah di Balikpapan, cobalah menumpang taxi yang muat sampai 9 orang, ongkos terjauh hanya Rp 3,000. Lho kok bisa? Tidak usah heran, taxi adalah sebutan umum untuk angkot berbentuk mikrolet atau toyota kijang di Balikpapan, sedang untuk taxi yang ‘asli’ mereka menyebutnya ‘argo’, walaupun banyak taxi tersebut tidak terbiasa menggunakan argometer alias borongan. So, anda akan menumpang taxi dengan nomor trayek dan jalur tertentu pula, kecuali kalo diatas jam 9 malam, sopir taxi ini akan melayani anda untuk rute apapun dan kemanapun sesuai orderan. Taxi di Balikpapan ini agak lebih manusiawi dalam memperlakukan penumpangnya, deretan kursi penumpang menghadap ke depan sebagaimana umumnya mobil, tidak seperti saudaranya pete’-pete’ di Makassar atau kota lain yang penumpangnya duduk berhadap-hadapan. Juga, jarang ditemui taxi dengan full capacity, biasanya maksimal hanya ditumpangi oleh 4-6 penumpang. Selain untuk kenyamanan penumpang, juga ada kesepahaman tak tertulis diantara sopir taxi Balikpapan untuk berbagi rejeki dengan sesama sopir taxi. Bagi anda perantau asal Sulawesi Selatan yang lumayan mengerti bahasa bugis dan makassar, taxi yang juga bisa berfungsi sebagai studio musik ini bisa memanjakan anda dengan lagu pengiring dari bugis makassar, dari lagu bugis abadi semisal ‘mabbura mali dan sajang rennu’ sampai lagu pop mutakhir dari Art2Tonic dan Ribas bisa juga anda nikmati. Perbincangan di atas angkot pun acapkali menggunakan bahasa bugis dan makassar, karena hampir 70% sopir taxi di kota ini merupakan pendatang asal bugis makassar. “Tau Ogi tokki pale’na?, Ogi pole fegaki?” sapaan akrab Kahar, sopir taxi nomor 3 ini, ketika tahu kalau saya juga berasal dari Bugis. Sesekali, jika kebetulan duduk di samping sopir bugis semisal Kahar ini, saya akan menanyakan kenapa jauh-jauh cari uang ke Balikpapan, hampir semua jawabannya seragam, “disini, walaupun apa-apa mahal, tapi gampang sekali gappa doe, perputarannya cepat cess...”, itu juga sebabnya mereka betah dan bahkan, mengajak saudara-saudara mereka di kampung untuk hijrah ke Balikpapan. Kalau anda menyempatkan diri menumpang taxi nomor 3, maka akan melewati daerah bernama Karang Bugis, dan juga Jalan Bonto Bulaeng. Di daerah karang Bugis ini juga, berdiri Pondok Pesantren Hidayatullah, yang dikenal sebagai Pesantren dengan cabang terbanyak dan terbesar di Indonesia. Pendiri nya adalah perantau asal Makassar, almarhum ustad Abdullah Said, atau juga dikenal sebagai ustad Mukhsin Qhahhar. Pengajar dan santri nya juga banyak berasal dari Bugis Makassar.
Lain lagi dengan penjual Sanggar ini, dari logat bicaranya yang medok, orang akan mudah menaksir asalnya dari suku Jawa, apalagi ketika tahu namanya, Mas Bagong. Sehari-harinya dia berjualan sanggar di sebuah kedai kecil di kilo 2, pinggiran kota Balikpapan. Jangan mengirta bahwa sanggar ini semacam tempat kongkow2 para pencinta seni, tapi sanggar ini adalah nama lain dari pisang goreng yang kita kenal, penganan gorengan khas merakyat yang digemari oleh semua lapisan masyarakat. Lho, kenapa kok nama pisang goreng berubah jadi sanggar? Beberapa orang Balikpapan yang saya temui berusaha menjelaskan bahwa sanggar adalah singkatan untuk pisang goreng, dengan menggabungkan suku kata akhir di kata pisang dengan suku kata awal di kata goreng dengan penyesuaian huruf o menjadi a. Namun, saya yang besar di makassar, punya pemahaman yang lain. Sejatinya, sanggar adalah sebutan awam untuk pisang goreng di makassar (sanggara’). Entah, karena banyaknya penggemar pisang goreng yang berasal dari makassar, sehingga mereka merasa berhak menamakan penganan nikmat di pagi hari itu dengan sebutan dari daerahnya. Di Balikpapan, beberapa kata asal bugis makassar terserap menjadi istilah umum masyarakat kota itu, semisal kata mandre untuk makan, buto untuk (maaf) kelamin pria, badik untuk semua senjata pisau, kaluruk untuk rokok, sekke’ untuk pelit, pale’ untuk imbuhan sekalinya/kalo begitu dan lain-lainnya.
Di kecamatan Gunung Sari, tepatnya di Gang Maryati, sekiranya perlu, Anda bisa singgah menunaikan sholat di Masjid Andi Massiona. Nama masjid diambil dari nama pemberi wakaf tanah dan bangunannya, yang sudah barang tentu merupakan nama khas bugis. Di daerha maryati yang agak padat ini juga, sekitar 80% penduduknya merupakan pendatang asal bugis makassar. Tak heran kalau bahasa sehari-hari mereka menggunakan bahasa bugis dan makassar. Di ujung gang, anda bisa berhenti sebentar membeli penganan ‘pisang gapit’ yang menurut penjualnya yang bersuku jawa, merupakan penganan hasil modifikasi dari ‘pisang epe’ yang dikenal di makasar. Kalau di makassar, pisang epe dibuat dari pisang raja yang dibakar kemudian di jepit, dan diberi parutan kelapa dengan gula merah cair, maka pisang gapit ini diproses dengan cara yang sama hanya di’gunting-gunting’ menjadi kecil-kecil sebesar koyo dan dihidangkan ke dalam piring kecil berisi gula merah cair. Rasanya manis dan enak, se-enak pisang epe di pantai Losari. Bila anda penggemar Coto Makassar, Sop Saudara dan Konro, anda akan dengan mudah menemukan warung coto di Balikpapan karena hampir di setiap sudut kota terutama di kawasan Sudirman dan Klandasan, akan banyak dijumpai warung coto, sebanyak toko penjual krupuk amplang, krupuk dari ikan khas Balikpapan. Namun disini, coto disajikan agak berbeda dengan di Makassar, hampir semua warung mengolah kuah coto dengan menambahkan santan, sehingga mungkin agak kurang nikmat menurut saya karena bisa mengaburkan rasa coto aslinya. Bagi anda penggemar Kapurung dan Pallu Mara, anda hanya bisa menikmati makanan berlendir ini di Warung Palopo, yang berlokasi di daerah Manggar, Selatan Balikpapan.
Pendatang asal Bugis Makassar diduga berdatangan ke kota Balikpapan sejak dekade 60-an, umumnya bekerja di sektor non formal, dengan menekuni pekerjaan kasar mulai dari menjadi sopir angkutan kota, pedagang sayur dan ikan, buruh kontraktor, tukang kayu dan bangunan sampai ke preman pasar. Teman saya orang Makassar yang bekerja sebagai tenaga Security Chevron bertutur bahwa kerabat dia merupakan ‘orang’ yang ‘pegang’ kompleks Plaza Rapak, so kalau ada perlu sesuatu jangan sungkan-sungkan beritahu dia. Memang agak tragis bahwa orang bugis makassar yang dikenal bertemperamen keras malah meninggalkan kesan negatif bagi penduduk Balikpapan, dan tidak jarang keonaran dipicu oleh perkelahian yang melibatkan suku Bugis Makassar ini, walaupun demikian, rekan kerja saya yang juga asli Bugis mengatakan bahwa ini semacam ‘blessing in disguise’ karena orang sekitar akan menjadi segan terhadap kita kalau sekiranya mereka tahu bahwa kitra orang bugis makassar. Agak memilukan sebenarnya. Saya tidak tahu apakah kriminalitas ini menjadi pemicu diberlakukannya regulasi ‘uang jaminan’ oleh Pemkot Balikpapan bagi para pendatang yang hendak menjadi warga kota, dimana para pendatang ini diwajibkan untuk membayarkan uang jaminan sebesar harga tiket mudik (untuk pendatang Sulawesi, nilainya sebesar Rp 300,000/jiwa selama 6 bulan). Uang jaminan akan dikembalikan utuh sekiranya si pendatang dapat membuktikan bahwa dia sudah bekerja setelah 6 bulan. Sekiranya si pendatang dalam kurun 6 bulan tidak mendapatkan pekerjaan, maka uang jaminan ini bisa dipakai oleh aparat Pemkot untuk me’mulang’kan si pendatang ke daerah asal.
Tapi tidak sedikit juga orang bugis makassar yang menjadi pekerja formal, dari pegawai kantor perusahaan minyak; pertamina, chevron, total dan vico, juga banyak yang menjadi pegawai negeri. Bahkan di periode sebelumnya, Mukmin Haeruddin yang asli Bugis, berhasil menduduki kursi wakil walikota, dan kemudian maju menjadi calon walikota Balikpapan di periode selanjutnya, namun kalah di pilkada 2006. juga beberapa nama lain lumayan berkibar memenuhi daftar pengurus cabang partai. PDK, yang didirikan oleh pak Ryaas Rasyid juga bisa menangguk suara yang lumayan banyak di Balikpapan ini, terutama karena didukung oleh suara para passompe. Paguyuban daerah semacam KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan) dan KKM (Kerukunan Keluarga Mandar) juga tumbuh berkembang di kota ini, bahkan organisasi massa ini kerap memiliki pengaruh yang besar terhadap kebijakan publik pemerintah kota.
Di hampir semua kota rantauan para passompe di Indonesia, mulai dari Jakarta, Cilacap, Cirebon, Surabaya, Jambi, Riau dan juga Balikpapan, agak sulit rasanya memisahkan orang bugis makassar dari pelabuhan. Ibarat kumbang dan bunga nya atau borok dan lalatnya, dimana ada pelabuhan, disitu banyak dijumpai orang Bugis Makassar. Di Balikpapan, ada dua pelabuhan besar tempat singgah kapal Pelni, yakni pelabuhan Semayang dan pelabuhan Kampung Baru. Dan berbicara tentang orang Bugis di Balikpapan, tidak klop rasanya tanpa mengaitkannya dengan Kampung Baru. Walaupun bernama Kampung Baru, kecamatan ini malah tergolong paling kumuh dengan tingkat kriminalitas tertinggi di Balikpapan. Orang Balikpapan kadang memberi sebutan ‘daerah Texas’ untuk kecamatan Kampung Baru ini. Jangankan orang non-Bugis Makassar, orang Bugis Makassar pun merasa perlu berhati-hati sekiranya punya keperluan di sini. Di sepanjang jalan yang membelah distrik pelabuhan ini, tidak terlalu sulit menemukan istilah-istilah bugis makassar. Mulai dari nama toko “Sinjai Putra, Putra Wajo, Wija to Bone,” warung ikan bakar, sampai kedai cukur pun penuh dengan nuansa Bugis Makassar. Bila anda membutuhkan menikmati ikan Baronang bakar dengan sambal khas bugis, carilah di Kampung Baru, namun anda mesti siap merogoh kocek dalam-dalam karena harga yang dipatok lumayan mahal, bisa dua kali lipat dari harga di Makassar atau Muara Angke, Jakarta. Di Kampung Baru ini juga, setiap selasa dan jumat pagi, anda bisa berburu barang-barang selundupan dengan harga miring di atas kapal pelni yang berlabuh dari Tarakan. Tapi menurut orang, sekarang banyak yang didagangkan barang palsu dengan harga yang cenderung sama saja dengan harga di darat. Bagi orang Bugis Makassar yang mau mudik, bisa menumpang kapal ini karena setelah selesai dengan aktifitas ‘pasar kaget’ ini, kapal tersebut akan berlayar menuju pelabuhan Makassar atau Pare-pare. Selain kapal Pelni, juga banyak kapal feri yang melayani rute Balikpapan - Mamuju pp. Bagi yang berduit lebih, bisa menikmati perjalanan Udara dengan pesawat Merpati dan Lion Air yang melayani rute Balikpapan-Makassar setiap hari.
Tulisan ini juga dimuat di Panyingkul (http://panyingkul.com)
Dan blog pribadi Noertika http://noertika.wordpress.com
At 11:27 AM,
At 3:23 PM, christsema
ada sedikit ralat yang perlu saya tegaskan disini, disebutkan dalam blog anda bahwa balikpapan sebagai tempat tanpa penduduk asli, mungkin kurangnya informasi dan data tuk mendukung penulisan blog anda, bahwa sesungguhnya balikpapan memiliki penduduk asli suku dayak Passer dari Puak/sub suku Passer Ayun dan Passer kuleng, yang telah bertransformasi sebagai suku melayu karena kebanyakan telah memeluk agama islam seperti halnya masyarakat melayu kutai, berau, tidung dll yang merupakan melayu dai transformasi suku dayak
At 3:23 PM, christsema
ada sedikit ralat yang perlu saya tegaskan disini, disebutkan dalam blog anda bahwa balikpapan sebagai tempat tanpa penduduk asli, mungkin kurangnya informasi dan data tuk mendukung penulisan blog anda, bahwa sesungguhnya balikpapan memiliki penduduk asli suku dayak Passer dari Puak/sub suku Passer Ayun dan Passer kuleng, yang telah bertransformasi sebagai suku melayu karena kebanyakan telah memeluk agama islam seperti halnya masyarakat melayu kutai, berau, tidung dll yang merupakan melayu dai transformasi suku dayak
At 3:23 PM, christsema
ada sedikit ralat yang perlu saya tegaskan disini, disebutkan dalam blog anda bahwa balikpapan sebagai tempat tanpa penduduk asli, mungkin kurangnya informasi dan data tuk mendukung penulisan blog anda, bahwa sesungguhnya balikpapan memiliki penduduk asli suku dayak Passer dari Puak/sub suku Passer Ayun dan Passer kuleng, yang telah bertransformasi sebagai suku melayu karena kebanyakan telah memeluk agama islam seperti halnya masyarakat melayu kutai, berau, tidung dll yang merupakan melayu dai transformasi suku dayak
wah,wah... emangnya pernah ke bpp y?? ntar lg aku pulkam Ke bpp, bareng yuk...