Monday, March 08, 2010
Kitab La Galigo memiliki panjang sekitar 300 ribu baris. Dua kali lebih panjang dibanding Kitab Mahabharata dan Ramayana dari India.Singapura — Layar putih panggung perlahan menggulung naik, satu-satu orang berbusana tradisional Bugis berjalan seirama kesunyian memasuki pentas. Mereka mengusung beragam perkakas sehari-hari. Disusul dua orang berbalut kain biru sepanjang enam meter merayap melintas di bibir bagian depan panggung. Selama 15 menit prolog lakon sastra epik besar I La Galigo itu penuh kesenyapan.
Sungguh apresiasi hebat atas epik Bugis berlakon I La Galigo yang diusung arsitek teater kontemporer dunia, Robert Wilson. Ia berhasil mengangkat epik berumur ribuan tahun yang mulai terkikis di masyarakat Bugis. La Galigo merupakan sastra unik karena memiliki gejala khas konsisten, gaya bahasa dan alur cerita. “Epik ini sederhana dan alami, karenanya saya lebih menonjolkan kreativitas artis dengan memadukan gerakan, kata-kata, teknik lampu, musik, dan imajinasi,” kata Wilson.
Keberhasilan pentas perdana ini tak lepas dari dukungan 50 aktor seniman Indonesia. Dalam kerangka artistik bersentuhan teknologi, penari dari Sulawesi Selatan, Jawa, Bali, Sumatera, dan Papua membuat cerita menjadi hidup. Selepas tiga hari di Singapura, I La Galigo terbang ke Amsterdam, Barcelona, Lyon, Ravenna, Italia, dan New York.
I La Galigo sejatinya karya sastra Bugis kuno yang berisi tentang genesis orang Bugis dan filosofi kehidupan manusia. Menurut peneliti Belanda Roger Tol, kitab La Galigo memiliki panjang sekitar 300 ribu baris. Dua kali lebih panjang dibanding Mahabharata dan Ramayana serta sajak-sajak Homerus dari Yunani sepanjang 160-200 ribu baris. Peneliti La Galigo selama 25 tahun ini juga menilai gaya bahasanya sangat indah.
Sedikit dialog Robert Wilson membuka lakon ini dengan gaya tengok belakang. Awal cerita menampilkan seorang pria berpakaian Kerajaan Cina, duduk bersila membaca kitab I La Galigo yang ditulis dengan bahasa Lontar. Ia menampilkan kisah yang praktis berurutan, sejak cerita tentang kakek dan kemudian giliran ayah, dan terakhir tentang I La Galigo. Selama tiga jam tampak adegan-adegan yang terharmonisasi tarian dan musik tradisional, serta kilatan permainan cahaya. Dialog bisu di atas panggung dihidupkan 70 alat musik Bugis.
Tampak sekali Robert mengangkat teks-teks kuno berwujud puisi menjadi cerita epik sederhana. Ia ingin membawanya ke dunia masa kini yang jarang diketahui orang. Maka, ia meminimalkan dialog, yang dibawakan “dalang” pendeta bissu asli Puang Matoa Saidi. Dialog maupun cerita ringkas dalam bahasa Bugis yang dilantunkan. Untuk menuntun plot dalam bahasa Lontar halus, disediakan terjemahan bahasa Inggris di papan teks sisi kiri panggung.
Tari garapan Andi Ummu Tunru menguatkan La Galigo sebagai tradisi tua. Tari Pakarena dari Makassar, Pajoge dari Bone, Pajaga dari Luwu, Pegellu dari Toraja, dan Pamanca dari Gowa. Kostum garapan Joachim Herzog dengan warna mencolok menegaskan karakter para tokoh. Patoteque putih bersih, tokoh Batara Guru merah, tokoh Sawerigading kuning.
Kilatan permainan lampu mengganti warna-warna latar belakang cerdas mendukung penonjolan tokohnya. Sorotan snap shot menimbulkan efek tiga dimensi. Gemuruh musik perpaduan perkusi, sayatan rebab juga menyuguhkan suasana berbeda-beda.
Sebelum pementasan, Andi Ummu Tunru yang mengenakan gaun panjang cokelat kepada Koran Tempo mengatakan, penggarapan karya ini menjalani proses panjang. Mereka harus melakukan penelitian tentang kitab La Galigo selama tiga tahun. Begitu juga membuat seminar terbuka penggalian sastra La Galigo. Selepas itu, terbentuk kesepakatan menampilkannya berupa pementasan. “Persiapan pentas perdana di Singapura dilakukan selama dua minggu,” katanya.
Mereka berlatih tiga kali sepekan di Benteng Fort Rotterdam, Singapura. Sebelumnya, para seniman harus belajar Pamanca di Desa Paopao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Latihan selalu berlangsung pada pukul 23.00-04.00 Wita. Latihan ditutup dengan ritual maccera, yaitu memotong ayam sebagai pertanda syukur.
Cikal bakal pertunjukan ini ketika penari Restu Kusumaningrum, koordinator artistik produksi, bersama Rhoda Grauer, produser seni dan penulis naskah lakon ini, sepakat mewujudkannya menjadi seni pertunjukan. Bersama Rahayu Supanggah mereka membuat presentasi di studio Robert Wilson di New York, dan berhasil menggaet Change Performing Arts (Italia) sebagai sponsor.
Kitab La Galigo mulanya dikumpulkan Raja Paccana, Colliq Pujie, dari lembaran-lembaran daun lontar. Ia hidup pada 1812-1876. Statusnya sebagai Raja Tanete tidak menghalangi kerjanya. Saat itu, Kabupaten Barru masih terbagi empat kerajaan: Tanete, Balusu, Malluisetasi, dan Barru.
Naskah La Galigo tersebar di beberapa negara. Selain empat di Inggris dan beberapa naskah di Belanda, lima naskah La Galigo juga tersimpan di Library of Congress Washington DC, Amerika Serikat. Naskah-naskah tersebut, Bugis (1) War betw Two Rajahs, Bugis (2) Day of Judgement-fr. The Koran, Bugis (3) A Tale, Bugis (4) A Rajah’s courtship, Bugis (5) Marriage froms, etc.
Peneliti sastra Universitas Hasanuddin, Makassar, Nurhayati Rahman, menjelaskan, kitab asli La Galigo tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah itu dibawa Dr. Benjamin Frederik Matthes sekitar 1800-an. Awalnya, Matthes dikirim ke Sulawesi Selatan oleh Nederlands Bijbelgenootschap untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bugis dan Makassar. Pulang ke Belanda, ia membawa 25 naskah Sureq La Galigo.
Rencana pementasan La Galigo sempat menuai protes medio tahun lalu. Proyek lakon ini dinilai banyak mencangkokkan unsur-unsur luar Bugis. Padahal, unsur-unsur Bugis yang menjadi landasannya justru ditinggalkan. Para seniman Sulawesi Selatan berpandangan pementasan itu bisa membangun persepsi keliru tradisi dan syair kepahlawanan yang mengakibatkan jiwa La Galigo tak utuh. Para peneliti, ilmuwan, dan seniman yang terlibat sejak awal proyek La Galigo malah ditinggalkan.
Nurhayati menjelaskan, Rhoda Grauer dan Restu Kusumaningrum dari Bali Purnati Centre for The Art, tidak menghargai hak intelektual dan para peneliti La Galigo. Padahal, Rhoda Restu hanya sebagai penghubung dengan sutradara Robert Wilson. Konon, kontroversi ini yang membuat pementasan La Galigo tidak digelar di Tanah Air. Kontroversi tersebut ditepis Jusuf Kalla yang menyebut tidak tersedianya gedung representatif sebagai penyebab.
Peneliti La Galigo yang lain, Muhammad Salim, mengatakan tidak mungkin melakonkan utuh La Galigo. Sebab lebih panjang dari epos Mahabharata dan petualangan tokoh utamanya sebanding dengan kisah Ulysses dalam Odyssey karya Homer. Diambillah keputusan mengambil salah satu bagian terpenting: awal mula manusia di bumi.
Sumber : www.korantempo.com
Saat kesunyian magis kian menyihir penonton, mendadak dihentak musik tabuh mengiringi tiga pria berpakaian laskar Bugis. Mereka melintas sambil melompat-lompat. Di akhir pementasan, adegan itu kembali muncul. Namun, mereka hanya berjalan mengusung benda-benda dalam bayangan kosong. Sesudahnya, seorang pemeran I La Galigo merosot turun dari tangga hidrolik ke bawah panggung. Inilah awal dan akhir cerita.
Tak kurang dari 2.000 penonton yang memadati gedung teater megah Esplanade, Rafless Street, Singapura, Jumat (14/3) pekan lalu memberikan apresiasi spontan. Mereka terhenyak berdiri dengan gemuruh tepuk tangan menggema selama beberapa menit. Tampak ikut berdiri, Menko Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla bersama istri, 15 rombongan dari Jakarta. Juga dedengkot Teater Koma Nano Riantiarno bersama istri, aktris Christine Hakim, Ria Irawan, dan lainnya. Hadir beberapa pengusaha, tokoh pers Djafar Assegaf hingga ekonom Sadli.Sungguh apresiasi hebat atas epik Bugis berlakon I La Galigo yang diusung arsitek teater kontemporer dunia, Robert Wilson. Ia berhasil mengangkat epik berumur ribuan tahun yang mulai terkikis di masyarakat Bugis. La Galigo merupakan sastra unik karena memiliki gejala khas konsisten, gaya bahasa dan alur cerita. “Epik ini sederhana dan alami, karenanya saya lebih menonjolkan kreativitas artis dengan memadukan gerakan, kata-kata, teknik lampu, musik, dan imajinasi,” kata Wilson.
Keberhasilan pentas perdana ini tak lepas dari dukungan 50 aktor seniman Indonesia. Dalam kerangka artistik bersentuhan teknologi, penari dari Sulawesi Selatan, Jawa, Bali, Sumatera, dan Papua membuat cerita menjadi hidup. Selepas tiga hari di Singapura, I La Galigo terbang ke Amsterdam, Barcelona, Lyon, Ravenna, Italia, dan New York.
I La Galigo sejatinya karya sastra Bugis kuno yang berisi tentang genesis orang Bugis dan filosofi kehidupan manusia. Menurut peneliti Belanda Roger Tol, kitab La Galigo memiliki panjang sekitar 300 ribu baris. Dua kali lebih panjang dibanding Mahabharata dan Ramayana serta sajak-sajak Homerus dari Yunani sepanjang 160-200 ribu baris. Peneliti La Galigo selama 25 tahun ini juga menilai gaya bahasanya sangat indah.
Sedikit dialog Robert Wilson membuka lakon ini dengan gaya tengok belakang. Awal cerita menampilkan seorang pria berpakaian Kerajaan Cina, duduk bersila membaca kitab I La Galigo yang ditulis dengan bahasa Lontar. Ia menampilkan kisah yang praktis berurutan, sejak cerita tentang kakek dan kemudian giliran ayah, dan terakhir tentang I La Galigo. Selama tiga jam tampak adegan-adegan yang terharmonisasi tarian dan musik tradisional, serta kilatan permainan cahaya. Dialog bisu di atas panggung dihidupkan 70 alat musik Bugis.
Tampak sekali Robert mengangkat teks-teks kuno berwujud puisi menjadi cerita epik sederhana. Ia ingin membawanya ke dunia masa kini yang jarang diketahui orang. Maka, ia meminimalkan dialog, yang dibawakan “dalang” pendeta bissu asli Puang Matoa Saidi. Dialog maupun cerita ringkas dalam bahasa Bugis yang dilantunkan. Untuk menuntun plot dalam bahasa Lontar halus, disediakan terjemahan bahasa Inggris di papan teks sisi kiri panggung.
Tari garapan Andi Ummu Tunru menguatkan La Galigo sebagai tradisi tua. Tari Pakarena dari Makassar, Pajoge dari Bone, Pajaga dari Luwu, Pegellu dari Toraja, dan Pamanca dari Gowa. Kostum garapan Joachim Herzog dengan warna mencolok menegaskan karakter para tokoh. Patoteque putih bersih, tokoh Batara Guru merah, tokoh Sawerigading kuning.
Kilatan permainan lampu mengganti warna-warna latar belakang cerdas mendukung penonjolan tokohnya. Sorotan snap shot menimbulkan efek tiga dimensi. Gemuruh musik perpaduan perkusi, sayatan rebab juga menyuguhkan suasana berbeda-beda.
Sebelum pementasan, Andi Ummu Tunru yang mengenakan gaun panjang cokelat kepada Koran Tempo mengatakan, penggarapan karya ini menjalani proses panjang. Mereka harus melakukan penelitian tentang kitab La Galigo selama tiga tahun. Begitu juga membuat seminar terbuka penggalian sastra La Galigo. Selepas itu, terbentuk kesepakatan menampilkannya berupa pementasan. “Persiapan pentas perdana di Singapura dilakukan selama dua minggu,” katanya.
Mereka berlatih tiga kali sepekan di Benteng Fort Rotterdam, Singapura. Sebelumnya, para seniman harus belajar Pamanca di Desa Paopao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Latihan selalu berlangsung pada pukul 23.00-04.00 Wita. Latihan ditutup dengan ritual maccera, yaitu memotong ayam sebagai pertanda syukur.
Cikal bakal pertunjukan ini ketika penari Restu Kusumaningrum, koordinator artistik produksi, bersama Rhoda Grauer, produser seni dan penulis naskah lakon ini, sepakat mewujudkannya menjadi seni pertunjukan. Bersama Rahayu Supanggah mereka membuat presentasi di studio Robert Wilson di New York, dan berhasil menggaet Change Performing Arts (Italia) sebagai sponsor.
Kitab La Galigo mulanya dikumpulkan Raja Paccana, Colliq Pujie, dari lembaran-lembaran daun lontar. Ia hidup pada 1812-1876. Statusnya sebagai Raja Tanete tidak menghalangi kerjanya. Saat itu, Kabupaten Barru masih terbagi empat kerajaan: Tanete, Balusu, Malluisetasi, dan Barru.
Naskah La Galigo tersebar di beberapa negara. Selain empat di Inggris dan beberapa naskah di Belanda, lima naskah La Galigo juga tersimpan di Library of Congress Washington DC, Amerika Serikat. Naskah-naskah tersebut, Bugis (1) War betw Two Rajahs, Bugis (2) Day of Judgement-fr. The Koran, Bugis (3) A Tale, Bugis (4) A Rajah’s courtship, Bugis (5) Marriage froms, etc.
Peneliti sastra Universitas Hasanuddin, Makassar, Nurhayati Rahman, menjelaskan, kitab asli La Galigo tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah itu dibawa Dr. Benjamin Frederik Matthes sekitar 1800-an. Awalnya, Matthes dikirim ke Sulawesi Selatan oleh Nederlands Bijbelgenootschap untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bugis dan Makassar. Pulang ke Belanda, ia membawa 25 naskah Sureq La Galigo.
Rencana pementasan La Galigo sempat menuai protes medio tahun lalu. Proyek lakon ini dinilai banyak mencangkokkan unsur-unsur luar Bugis. Padahal, unsur-unsur Bugis yang menjadi landasannya justru ditinggalkan. Para seniman Sulawesi Selatan berpandangan pementasan itu bisa membangun persepsi keliru tradisi dan syair kepahlawanan yang mengakibatkan jiwa La Galigo tak utuh. Para peneliti, ilmuwan, dan seniman yang terlibat sejak awal proyek La Galigo malah ditinggalkan.
Nurhayati menjelaskan, Rhoda Grauer dan Restu Kusumaningrum dari Bali Purnati Centre for The Art, tidak menghargai hak intelektual dan para peneliti La Galigo. Padahal, Rhoda Restu hanya sebagai penghubung dengan sutradara Robert Wilson. Konon, kontroversi ini yang membuat pementasan La Galigo tidak digelar di Tanah Air. Kontroversi tersebut ditepis Jusuf Kalla yang menyebut tidak tersedianya gedung representatif sebagai penyebab.
Peneliti La Galigo yang lain, Muhammad Salim, mengatakan tidak mungkin melakonkan utuh La Galigo. Sebab lebih panjang dari epos Mahabharata dan petualangan tokoh utamanya sebanding dengan kisah Ulysses dalam Odyssey karya Homer. Diambillah keputusan mengambil salah satu bagian terpenting: awal mula manusia di bumi.
Sumber : www.korantempo.com
link balik bro.....
http://johan-jm.blogspot.com/
Salam Blogger