Wednesday, July 26, 2006
Pada abad ke-17 datanglah seorang pemimpin suku Bugis menghadap Raja Banjar yang berkedudukan di Kayu Tangi (Martapura) untuk diijinkan mendirikan pemukiman di Pagatan, Tanah Bumbu.

Raja Banjar memberikan gelar Kapitan Laut Pulo kepadanya yang kemudian menjadi raja Pagatan. Upacara adat suku Bugis di daerah ini antara lain :
• Mappretassi (memberi makan laut) di Desa Pagatan, kecamatan Kusan Hilir, Tanah Bumbu
• Ma'ceratasi di desa Sarang Tiung

Sebagian besar suku Bugis tinggal di daerah pesisir timur Kalimantan Selatan yaitu Tanah Bumbu dan Kota Baru.

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), populasi suku Bugis di Kalimantan Selatan berjumlah 73.037 jiwa, yang terdistribusi pada beberapa kabupaten dan kota, yaitu :
• 3.066 jiwa di kabupaten Tanah Laut
• 64.093 jiwa di kabupaten Kota Baru (termasuk Tanah Bumbu)
• 828 jiwa di kabupaten Banjar
• 211 jiwa di kabupaten Barito Kuala
• 106 jiwa di kabupaten Tapin
• 68 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Selatan
• 169 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Tengah
• 172 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Utara (termasuk Balangan)
• 516 jiwa di kabupaten Tabalong
• 2.861 jiwa di kota Banjarmasin
• 947 jiwa di kota Banjarbaru

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis"

Baca Artikel Selengkapnya..!
 
Oleh noertika pada pukul 3:38 PM | 0 tanggapan
Oleh : Nordin Bula

Suku kaum Bugis merupakan salah satu etnik yang terdapat di dalam kelompok ras berbilang bangsa di negeri Sabah. Kebanyakan suku kaum ini telah menetap di pantai Timur Sabah iaitu di daerah Tawau, Semporna, Kunak dan Lahad Datu.

Dari aspek sosial, suku kaum ini lebih terkenal dengan kerabat pangkat diraja (keturunan dara), mementingkan soal status individu dan persaudaraan sesama keluarga. Dari segi perkahwinan,suku kaum ini lebih suka menjalinkan perkahwinan dengan keluarga terdekat dan perceraian pula merupakan hubungan sosial yang amat tidak disukai oleh suku kaum ini kerana ia meruntuhkan hubungan kekeluargaan dan bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Pada dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai 'Bahasa Ugi' dan mempunyai tulisan huruf Bugis yang dipanggil "aksara" Bugis. Aksara ini telah wujud sejak abad ke-12 lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia.

Sejarah kedatangan suku kaum Bugis di Sabah (Tawau khususnya) berkaitan dengan sejarah penerokaan Tawau. Adalah dipercayai suku kaum ini telah meninggalkan Kepulauan Sulawesi menuju ke Pulau Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaysia, Kalimantan dan Borneo sejak abad ke-16 lagi.

Tahun 1840 dijadikan sebagai fakta kukuh untuk menyatakan tempat permulaan penerokaan Tawau oleh suku kaum Bugis. Penempatan awal oleh suku kaum Bugis ini bermula di kawasan yang dikenali sebagai Ranggu. Ini bermakna suku kaum Bugis sudah pun menerokai kawasan Tawau dan menjadikan Ranggu sebagai salah satu destinasi untuk berulang-alik ke Indonesia menjadi pedagang dan membawa masuk pekerja buruh ke ladang-ladang milik kerajaan British ketika itu. Apapun, Ranggu diasaskan oleh nenek Penghulu K.K. Salim di Kampung Sungai Imam, Bombalai.

Kemudian seorang lagi bangsa Bugis dari kerabat diraja Bone bernama Petta Senong menetap di Sungai Imam, Bombalai. Usaha mereka ketika itu adalah sebagai orang upahan kepada Kerajaan Sulu untuk menghapuskan sebanyak mungkin lanun-lanun yang bergerak di perairan Laut Sulu, Borneo.

Kemudian, beberapa kawasan baru terus diterokai oleh suku kaum Bugis dan kawasan yang termasuk dalam tapak pembangunan Bandar Tawau. Antara suku kaum Bugis yang terlibat dalam penerokaan bandar Tawau ialah Puang Ado, Daeng Mappata, Wak Neke, Wak Gempe dan Haji Osman.

Konsep siri masiri (malu, menjaga maruah) yang dikaitkan dengan kata-kata suku kaum Bugis antara lainnya :

- "...aja mumaelo' nabetta taue makkalla ricappa'na lete'ngnge".

Maksud terjemahannya : Janganlah engkau mahu didahului orang menginjakkan kaki dihujung titian ( Janganlah engkau mahu didahului orang lain untuk mengambil rezeki ).

- "...naia riasengage' to warrani maperengnge narekko moloio roppo-roppo ri laommu, rewekko paimeng sappa laleng molai"

Maksud terjemahannya : Yang disebut orang berani ialah yang kuat dan unggul bertahan, Jikalau engkau menghadapi rintangan berat yang engkau tak dapat lalui atau atasi, kembalilah memikirkan jalan atau cara untuk mengatasinya.

Sumber:
Dipetik dari Kertas Projek Penyelidikan "Penglibatan Politik Suku
Kaum Bugis Satu Kes Kajian di N.46 Merotai, Tawau" oleh Nordin Bula.
(Perpustakaan Wilayah Tawau, Peti Surat 775, 91008 Tawau, No.Tel /Faks : 089-760632)

Baca Artikel Selengkapnya..!
 
Oleh Lana pada pukul 2:58 PM | 2 tanggapan
Friday, July 21, 2006
Laporan Wartawan Tribun Timur, Yusran Darmawan

DI pesisir pantai selatan, Rabu (19/7), begitu banyak nelayan yang memandang lautan. Mereka sama-sama duduk terpekur dan menyaksikan ombak yang berdebur secara teratur. Beberapa nelayan membunuh sepi dengan cara merapikan jaring yang sempat terburai. Mereka menyusun ulang secara rapi peralatan di perahunya yang sempit. Mulai dari dayung hingga bola gabus yang berfungsi untuk menahan jaring. "Saya sekarang ketakutan kalau melihat laut. Padahal, saya sadar betul kalau laut itu adalah tempat mencari nafkah," kata Sirajuddin, salah seorang nelayan sambil terpekur memandang laut.

Sirajuddin adalah nelayan yang sudah lama menetap di Cilacap, Jawa Tengah. Ia menjadi nelayan sejak tahun 1965. Meski senior, tsunami beberapa waktu lalu sempat membuatnya khawatir kalau-kalau bencana yang sama akan terjadi lagi. Tubuh Sirajuddin begitu lebam. Ototnya terlihat bertonjolan. Rambutnya memutih hingga jenggot dan kumisnya. Sambil menghisap rokok Marlboro, ia menuturkan kalau ia bukan asli Cilacap namun menjadi perantau di tempat itu.
"Saya berasal dari tempat yang sangat jauh dari tanah seberang," katanya dengan mimik serius. Dari mana? "Saya terlahir dari darah pelaut Makassar," katanya. Sayang, ia tak paham bahasa Makassar. Ia cuma mengenali beberapa patah kata saja. Ia hanya tahu kalau orangtua serta nenek moyangnya datang mencari ikan di Cilacap dan kemudian memilih untuk menetap di situ.
Perlahan, mereka bergabung dengan komunitas nelayan Cilacap dan lebur menjadi satu. Ia menuturkan, komunitas Makassar tetap tinggal di satu kawasan di dekat Kampung Baru, Cilacap. Mereka begitu bangga dengan sejarah nenek moyangnya yang begitu kemilau. Begitu bangga dengan berbagai ritus dan pencapaian nenek moyangnya. Berlayar jauh hingga mencapai Marege (Australia). Menaklukan samudera dengan hanya perahu phinisi bercadik.
Sirajuddin adalah generasi ketiga pelaut Makassar yang sudah beranak-pinak di situ.

Mereka sudah tidak lagi menampilkan ciri Makassar. Namun anehnya, Sirajuddin begitu bangga menjadi pelaut Makassar. "Saya selalu bangga kalau menyebut Makassar. Hampir semua nelayan di tanah Jawa ini mengakui kalau orang Makassar begitu jago di lautan," katanya. Di Cilacap, seluruh nelayan hidup sebagai satu kesatuan yang lebur. Ada kesamaan tutur di antara mereka. Sama-sama berbicara agak keras. Ini sangat kontras dengan kehidupan warga Cilacap yang berbahasa Jawa agak halus seperti halnya Yogyakarta. Nelayan Cilacap berasal dari berbagai etnis. Meski masih didominasi etnis Jawa, namun di situ juga ada berbagai etnis mulai dari Madura, Mandar, dan Makassar. Meski demikian, semua nelayan itu sama khawatir kalau diajak berbicara tentang tsunami. Tak terkecuali Siradjuddin. Mereka sama khawatir dan memilih untuk berhenti melaut untuk sementara. Mereka hanya memarkir perahunya di pesisir pantai sejak didera kekhawatiran akan terjadi tsunami lagi. Perahu yang terparkir itu berjumlah banyak. Semua perahu terlihat berwarna-warni. Panjang perahu itu sekitar empat meter. Di semua perahu itu juga terpasang sebuah bendera yang melambai-lambai ketika ditiup semilir angin. Di antara perahu itu, ada beberapa perahu yang terlihat porak-poranda. "Perahu itu rusak akibat diangkat gelombang tsunami. Tinggi air di pantai ini naik hingga tiga meter," kata seorang nelayan.

Ketika berita gempa kembali menggoyang Pangandaran, sontak mereka panik. Ada aura ketakutan yang terpancar dari wajah mereka. Seakan-akan mereka baru saja melalui bencana besar. Mereka lalu terdiam dan kembali menatap lautan. Mereka tak begitu khawatir karena mengingat di depan pantai Cilacap terbentang Pulau Nusakambangan. Pulau ini menjadi penghalang dari ombak besar yang datang dari arah timur. Hampir semua warga Cilacap merasa bersyukur dengan keberadaan Nusakambangan. Pulau itu tidak sekedar menjadi tempat penjara untuk narapidana kelas kakap di negeri ini. Pulau itu juga bisa menyelamatkan mereka. Meski riang karena ada Pulau Nusakambangan, nelayan itu tetap tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Mereka tahu betul betapa seluruh harga kebutuhan hidup melonjak tinggi. Namun, mereka tak bisa melaut karena khawatir akan keselamatannya. Bagi Sirajuddin, penghasilan dari melaut tak pernah jelas. Kadang ia mendapat tangkapan ikan dan dijual hingga Rp 300 ribu. Kadang tidak sama sekali. Namun, ia merasa tak punya keahlian lain selain dari pekerjaan itu. "Saya tak tahu bagaimana menghadapi hari pada minggu mendatang. Pergi melaut dalam keadaan normal saja, belum tentu dapat hasil. Apalagi kalau tidak sama sekali," katanya masygul. Lantas, apa tidak ada keinginan untuk balik Makassar? "Tidak sama sekali. Saya memang Makassar. Tapi saya juga Cilacap," katanya.

Baca Artikel Selengkapnya..!
 
Oleh Lana pada pukul 11:27 AM | 0 tanggapan
Saturday, July 15, 2006
KOMPAS Rabu, 27 April 2005
oleh: H Rosihan Anwar


SOROTAN mata tajam, alis hitam, bibir gairah, jenggot lebat, berpakaian gamis, bersorban putih, itulah Syeikh Yusuf asal Goa, Sulawesi Selatan, yang pada abad ke-17 menyemaikan Islam di Afrika Selatan.

DALAM berkas yang saya terima di seminar "Perbudakan dan Buangan Politik" di Cape Town, 23 Maret 2005, saya temukan potret Syeikh Yusuf. Tidak jelas pelukisnya. Tidak pasti otentiknya. Betulkah begitu wajahnya? Siapa takut? Bagaimanapun, ini adalah insan hebat luar biasa.

Riwayat Syeikh Yusuf mulai saya kenal di masa sekolah menengah zaman kolonial dari buku-buku ilmuwan Belanda seperti Cense, Drewes, De Graaf, dan Noorduyn. Di seminar tadi Prof Dr Azyumardi Azra, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Dr Nabilah Lubis juga dari UIN Jakarta menyajikan makalah mengenai peran Syeikh Yusuf di Indonesia dan Afrika Selatan.

Syeikh Yusuf lahir tahun 1626 di Goa, Sulawesi Selatan. Ayahnya, Abdullah, bukan bangsawan, tetapi ibunya, Aminah, keluarga Sultan Ala al-Din. Dia dididik menurut tradisi Islam, diajari bahasa Arab, fikih, tauhid. Pada usia 15 tahun dia belajar di Cikoang pada seorang sufi, ahli tasawuf, mistik, guru agama, dan dai yang berkelana. Saya tahu dari sejarawan Belanda, Van Leur, betapa agama Islam dibawa ke Indonesia pada mulanya oleh pedagang-pedagang Islam yang sekaligus adalah sufi. Kembali dari Cikoang Syeikh Yusuf menikah dengan seorang putri Sultan Goa, lalu pada usia 18 tahun dia naik haji ke Mekkah sekalian memperdalam studi tentang Islam.

Di Makassar dia naik sebuah kapal Melayu dan berlayar menuju Banten yang merupakan pusat Islam penting di Nusantara. Di sana diabersahabat dengan putra mahkota yang kelak memerintah sebagai Sultan Ageng Tirtayasa (1651-83), penguasa agung terakhir dari Kesultanan Banten, juga kerajaan terakhir dari Nusantara yang dengan kapal-kapalnya melaksanakan perdagangan jarak jauh.

Mengikuti rute perdagangan antar-Nusantara zaman itu Syeikh Yusuf melanjutkan perjalanan ke Aceh, lalu ke Gujarat, India, tempat dia bertemu dengan Sufi Nuruddin Ar-Raniri, penasihat sultan perempuan Safyatuddin dari Aceh, kemudian ke Yaman, akhirnya ke Mekkah dan Madinah, bahkan sampai ke Damascus (Suriah) dan Istanbul (Turki) yang disebut dalam tambo-tambo Melayu sebagai "Negeri Rum". Bila dipikir sangat lamanya waktu perjalanan dengan kapal layar atau dengan kafilah unta zaman itu, maka sungguh mengagumkan kekuatan fisik dan mental Syeikh Yusuf untuk berkelana sambil belajar tasawuf bertahun-tahun dalam tradisi seorang sufi. Sungguh menyenangkan di Mekkah dia memperoleh ijazah dari tarekat (mystical order) Khalwatiyyah, diakui sebagai ilmuwan Islam yang berwibawa, dipandang sebagai guru agama oleh orang-orang Melayu-Indonesia yang datang naik haji ke tanah Haramyn. Dia menikah dengan putri Imam Shafi'i di Mekkah yang meninggal dunia waktu melahirkan bayi. Sebelum pulang ke Indonesia, dia kawin lagi dengan seorang perempuan asal Sulawesi di Jeddah.

SYEIKH Yusuf tidak kembali ke Goa di mana agama sudah dilecehkan, orang berjudi, mengadu ayam, meminum arak, menghidupkan lagi animisme tanpa ditindak secara tuntas oleh Sultan. Alih-alih dia menetap di Banten dan menjadi penasihat agama utama Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan ini sangat anti-VOC Belanda. Ia berselisih dengan putranya yang dikenal sebagai Sultan Haji. Timbul perang saudara, Sultan Haji minta bantuan VOC yang mengirim tentara Kompeni untuk menangkap Sultan Ageng dan menyekapnya di Batavia di mana dia meninggal tahun 1692.

Syeikh Yusuf dengan 4.000 tentara Bugis memihak Sultan Ageng, turut bergerilya dengannya, juga ditangkap oleh Belanda. Pada bulan September 1682, Syeikh Yusuf bersama dua istrinya, beberapa anak, 12 murid, dan sejumlah perempuan pembantu dibuang ke Ceylon, kini Sri
Lanka. Di Sri Lanka dia menulis karya-karya keagamaan dalam bahasa Arab, Melayu, dan Bugis. Dia aktif menyusun sebuah jaringan Islam yang luas di kalangan para haji yang singgah di Sri Lanka, di kalangan para penguasa, dan raja-raja di Nusantara. Haji-haji itu membawa
karya-karya Syeikh Yusuf ke Indonesia, dan karena itu bisa dibaca di negeri kita sampai sekarang.

Mengingat aktivitas Syeikh Yusuf tadi, VOC Belanda khawatir dampaknya dalam bidang agama dan politik di Nusantara. Keadaan bisa bergolak terus. VOC lalu mengambil keputusan memindahkan Syeikh Yusuf ke Kaapstad di Afrika Selatan. Dalam usia 68 tahun, Syeikh Yusuf beserta rombongan pengikutnya terdiri dari 49 orang tiba di Tanjung Harapan tanggal 2 April 1694 dengan menumpang kapal Voetboog. Di tengah perjalanan badai besar menghantam sehingga membuat nakhoda Belanda, Van Beuren, ketakutan kapalnya akan tenggelam, tapi berkat wibawa dan karisma Syeikh Yusuf dia bisa tenang dan selamat sampai di Kaapstad. Akibat pengalaman tersebut, sang kapten memeluk agama Islam dan sampai sekarang keturunannya yang semua Muslim masih ada di Afrika Selatan.

Syeikh Yusuf ditempatkan di Zandvliet, desa pertanian di muara Eerste Rivier, dengan tujuan supaya tidak bisa berhubungan dengan orang-orang Indonesia yang telah datang lebih dahulu. Lokasi itu di Cape Town sekarang dikenal sebagai Macassar. Bersama ke-12 pengikutnya, yang dinamakan imam-imam, Syeikh Yusuf memusatkan kegiatan pada menyebarkan agama Islam di kalangan budak belian dan orang buangan politik, juga di kalangan orang-orang Afrika hitam yang telah dibebaskan dan disebut Vryezwarten.

MENYAMPAIKAN syiar Islam, memelihara dan mempertahankan agama Islam di kalangan golongan Muslim merupakan perhatian dan aktivitas Syeikh Yusuf di Afrika Selatan. Sebagai sufi, dia mengajarkan tarekat Qadiniyyah, Shattariyyah, dan Rifaiyyah di kalangan Muslim Afrika Selatan. Dia meninggal dunia tanggal 22 Mei 1699 dan dimakamkan di Faure, Cape Town. Makamnya terkenal sebagai Karamah yang berarti 'keajaiban, mukjizat'. Sultan Gowa meminta kepada VOC supaya jenazah Syeikh Yusuf dibawa ke Tanah Airnya. Dia tiba di Goa 5 April 1705 dan dimakamkan kembali di Lakiung. Seperti makamnya di Faure, makamnya di Makkasar juga banyak diziarahi orang. Fakta bahwa Syeikh Yusuf memiliki dua makam menimbulkan spekulasi. Sejarawan De Haan percaya Belanda mengirimkan kerangka Syeikh Yusuf ke Makassar dan karena itu makamnya di Faure telah kosong. Di pihak lain, tulis Prof Azyumardi Azra dalam makalahnya, orang-orang Muslim di Cape percaya hanyalah sisa sebuah jari tunggal dari Syeikh Yusuf yang dibawa kembali. Spekulasi ini mungkin ada benarnya mengingat sebuah legenda di Goa mengenai jenazah Syeikh Yusuf yang dimakamkan kembali. Menurut legenda, pada mulanya hanya sejemput abu yang mungkin sisa-sisa jarinya yang dibawa dari Afrika Selatan. Tapi abu itu bertambah terus sampai mengambil bentuk seluruh badan penuh Syeikh Yusuf tatkala tiba di Goa. Dr Nabilah Lubis berkata kepada saya, soalnya adalah apakah yang tiba di Goa, kerangka atau keranda?

Syeikh Yusuf adalah seorang sufi. Pada awal tahun 1960-an ketika membaca soal mistik di Jawa dalam disertasi Dr Schmidt yang diajukan di Universitas Geneva saya mendapat keterangan tasawuf mana yang tidak diterima oleh Islam. Yaitu yang mengandung panteisme, yang menganggap diri sendiri adalah Tuhan, ana'l Haq, itu ditolak. Azyumardi Azra menulis Syeikh Yusuf menolak konsep wahdah al-wujud. Dalam analisis terakhir: man is man and God is God. Karena HAMKA menulis buku Tasawuf Indonesia saya bertanya kepadanya apakah dia sufi, dan pada awal tahun 1960-an Buya menjawab dalam bahasa Minang: Ha indak, ambo ma ngaji-ngaji sajo. HAMKA menyangkal dirinya seorang sufi.

Memang susah menjelaskan tentang sufi apabila orang tidak menjalankannya dengan bergabung dalam sebuah tarikat yang dipimpin oleh syeikh. Sebagai orang awam, tentu terlebih-lebih saya tidak punya bakat dan persediaan untuk memahami sufi dan ajarannya. Kalangan yang mengetahui berkata sufi-ism adalah sama dengan akhlak yang baik.

Siapa yang berusaha hidup dengan akhlak baik, tidak mengundurkan diri dari masyarakat ramai, tetap aktif dalam urusan dunia, mengindahkan sepenuhnya suruhan dan larangan Tuhan, dia itu sesungguhnya mirip sufi. Bagaimanapun juga, Syeikh Yusuf al-Makassari, Pahlawan Nasional, adalah seorang sufi.

Baca Artikel Selengkapnya..!
 
Oleh Lana pada pukul 5:20 PM | 2 tanggapan
Friday, July 14, 2006
Syaikh Yusuf Tuanta Salamaka vs Karaeng Pattingalloang tentang Lima Perkara

Di zaman pemerintahan Sultan Malikussaid Raja Gowa dengan gelar anumerta Tummenanga ri Papambatuna, tersebutlah dua orang tokoh sejarah yang terkenal yaitu Syaikh Yusuf Tuanta Salamaka dan Karaeng Pattingalloang. Syaikh Yusuf adalah tokoh berkaliber internasional, dengan predikat ulama dalam kwalitas sufi, ilmuwan penulis puluhan buku, pejuang yang gigih di mana saja ia berada: di Gowa, di Banten, di Ceylon (Srilangka sekarang) dan di Tanjung Pengharapan, negaranya orang Boer (petani emigran Belanda, sekarang Negara Afrika Selatan). Karaeng Pattingalloang adalah Perdana Menteri kerajaan kembar Gowa-Tallo', negarawan, politikus, ilmuwan, yang publikasi karya ilmiyahnya belumlah ditemukan hingga dewasa ini.

Syahdan, inilah dialog di antara keduanya dalam Hikayat Tuanta Salamaka menurut versi Gowa, sebagaimana dituturkan oleh Allahu Yarham Haji Ahmad Makkarausu' Amansyah Daeng Ngilau'. Materi dialog itu ada lima perkara: anynyombaya saukang, appakala'biri' sukkuka gaukang, a'madaka ri bate salapanga, angnginunga ballo' ri ta'bala' tubarania, dan pa'botoranga ri pasap-pasaraka.
Maka berkatalah Tuanta Salamaka: "Telah kulihat alamat keruntuhan Butta (negeri) Gowa. Oleh sebab itu, pertama, hentikan dan cegahlah rakyat menyembah berhala (saukang), yang kedua, hentikan menghormati atribut kerajaan (gaukang) secara berlebih-lebihan, yang ketiga, hentikan Bate Salapang bermadat, yang keempat, hentikan pasukan kerajaan minum tuak, dan yang kelima, hentikan perjudian di pasar-pasar." (bahasa aslinya seperti dituturkan Daeng Ngilau di atas itu).

Maka menjawablah Karaeng Pattingalloang:
"Pertama, susatongi nipamari anynyombaya saukang, susahlah menghentikan rakyat menyembah saukang, sebab melalui saukang itulah wibawa raja ditegakkan, yang kedua, sukarlah juga menghentikan penghormatan gaukang, karena di situlah letaknya kemuliaan sang raja, anjoreng minjo kala'biranna sombaya, yang ketiga, tidaklah gampang Bate Salapang menghentikan bermadat, karena jika demikian takkuleami nagappa nanawa-nawa kabajikanna pa'rasanganga, tidak akan timbul gagasan-gagasan baru mengenai konsep pembangunan, yang keempat, kalau pasukan kerajaan dihentikan minum tuak, lalu kedatangan musuh, inaimo lanisuro a'jjallo', siapalah yang akan dikerahkan membabat musuh, yang kelima, juga tidak mungkin menutup perjudian di pasar-pasar, karena tenamo nantama baratuwa, tidak ada lagi pajak judi yang masuk dalam perbendaharaan kerajaan, antekammamo lanibajiki pa'rasanganga, lalu bagaimana mungkin menggalakkan pembangunan?"

Setelah dialog selesai, Tuanta Salamaka mengeluarkan pernyataan: "Punna tenamo takammana lakupilari butta Gowa, kalau keputusan kerajaan sudah demikian itu, akan kutinggalkan Butta Gowa. Tamangeai nyawaku anciniki sallang sare-sarenna Butta Gowa. Tak sampai hati saya menyaksikan kelak keruntuhan Butta Gowa."

La Maddaremmeng, Raja Bone ke-13, menjalankan Syari'at Islam dengan murni dan konsekwen dalam kerajaannya. Sebenarnya La Maddaremmeng ini perlu diangkat dalam sejarah, bahwa ia mendahului gerakan Paderi di Minangkabaw. La Maddaremmeng adalah Pahlawan Islam. Ia memberantas adat kebiasaan yang bertentangan dengan Syari'at Islam, sejalan dengan yang dikemukakan oleh Tuanta Salamaka kepada Karaeng Pattingalloang. Para bangsawan Bone yang tidak setuju dengan kebijaksanaan La Maddaremmeng minta bantuan Kerajaan Gowa, yang mengakibatkan pecah perang Gowa-Bone yang kedua. Bone kalah perang, La Maddaremmeng dan sejumlah rakyatnya ditawan, dikerahkan ke Gowa untuk kerja paksa, membangun benteng pertahanan.

Perang Gowa-Bone ini memang unik dalam sejarah. Pada zaman pemerintahan I Mallikaang Daeng Manyonri Karaeng Katangka Karaenga Matowaya Sultan Alawddin Awwalu lIslam Tummenanga ri Agamana terjadi perang Gowa-Bone pertama, yang penyebabnya sebaliknya dari perang yang kedua. Yaitu Kerajaan Gowa walaupun tidak memaksakan agama Islam pada Kerajaan Bone yang waktu itu belum Islam, Kerajaan Gowa menghendaki agar Bone menghentikan praktek tradisi yang bertentangan dengan Syari'at Islam.

Demikianlah Kerajaan Gowa kehilangan mutiaranya. Tuanta Salamaka akhirnya meninggalkan Kerajaan Gowa, merantau ke Banten. Menuntut ilmu ke Tanah Suci. Bersama-sama dengan mertuanya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan iparnya, Pangeran Purbaya, berperang melawan Belanda di Banten, di Parahyangan, sampai ke Cirebon. Melanjutkan perjuangan sambil menulis buku di pengasingan di Ceylon dan di Tanjung Pengharapan.

Apa yang diucapkan Tuanta Salamaka sebagai futurelog terbukti dalam sejarah. Arung Palakka, yang walaupun masa remajanya dibina dan dididik oleh Karaeng Pattingalloang, bangkit melawan kerajaan Gowa untuk memerdekakan Bone, mengakhiri kerja paksa itu. Dan selanjutnya dapat kita baca dalam sejarah bahwa apa yang diramalkan oleh Syaikh Yusuf tentang nasib kerajaan Gowa terbukti dalam satu generasi berikutnya pada zaman pemerintahan I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangngape Sultan Hasanuddin Tummenanga ri Balla' Pangkana, ditandai dengan ditandatanganinya Perjanjian Bungaya. Sepeninggal Sultan Hasanuddin pamor Kerajaan Gowa menjadi pudar.

Menurut berita insya Allah Syaikh Yusuf akan diperingati sepanjang tahun 1994 di Negara Afrika Selatan, yang mendapat dukungan kuat dari Nelson Mandela. Kolom ini ditulis untuk ikut sekelumit menyambut tahun kegiatan memperingati Syaikh Yusuf di rantau jauh itu. Adegan dialog itu menunjukkan perbedaan sikap berpikir antara orang berdzikir kemudian baru berpikir, berhadapan dengan orang yang berpikir saja tanpa berdzikir. Syaikh Yusuf, karena berdzikir, ingat kepada Allah dahulu sebelum berpikir, maka pemikirannya dituntun oleh wahyu. Sedangkan Karaeng Pattingalloang hanya berpikir saja tanpa dituntun wahyu, hanya mengandalkan akalnya belaka. Itulah barangkali latar belakangnya mengapa penulis sejarah di kalangan orang barat sangat memujinya.

Firman Allah:
-- Alladziena yazkuruna Llaha qiyaman wa qu'udan wa 'ala junubihim wa yatafakkaruna fie khalqi ssamawati walardhi, rabbana ma khalaqta hadza bathilan subhanaka faqina 'adzaba nnar (S. Ali
'Imran 3:190). artinya:
-- Yaitu mereka yang dzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, atau duduk, atau berbaring, dan berpikir tentang kejadian (benda-benda) langit dan bumi, kemudian berucap: Ya Maha Pengatur kami, tidaklah Engkau ciptakan semuanya ini dengan percuma, maka peliharalah kami dari azab neraka.

Jadi yadzkuruna berdzikir dahulu baru yatafakkaruna berpikir. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 5 Desember 1993
[H.Muh.Nur Abdurrahman]

Baca Artikel Selengkapnya..!
 
Oleh Fitriyani Akib pada pukul 9:36 AM | 1 tanggapan
Thursday, July 13, 2006
oleh H.Muh. Nur Abdurrahman

Ruai bungung mattinri,
Sillembang-lembang jeqneqna.
Kereang minjo,
Nipiraqnyuq namateqne.

Dua sumur berdampingan,
setara air keduanya.
Mana gerangan menyejukkan,
dipakai membasuh muka

Allesai pattinriang,
Keboka leqleng paqjayya.
Kere nialle,
kere niboli' salasa.

Coba dibanding-banding,
yang putih yang hitam manis.
Mana dipilih,
Mana ditinggal pedih.

Kebimbangan untuk memilih salah satu di antara dua calon isteri yang seimbang terpecahkan dengan melihat hasil teknolgi permulaan abad ke-20, seperti dinyatakan oleh kelong yang berikut ini:

Iyaminjo alle rapang,
rimminrona masinaya.
Se'reji jarung,
naruwa bannang panjaiq

Ambillah itu ibarat,
mesin jahit yang berputar.
Jarum sebatang,
mengayom dua benang.

Baca Artikel Selengkapnya..!
 
Oleh Fitriyani Akib pada pukul 12:12 PM | 0 tanggapan
Wednesday, July 12, 2006
RUMPUN BUGIS = termasuk dalam rumpun Melayu Muda

selama ini yang orang tahu dari Sulsel cuma ada empat suku, yaitu makassar, bugis, mandar dan toraja... ternyata masih banyak yang lain...

SUKU BENTONG = Suku Bentong tinggal di perbatasan Kabupaten Maros dan Bone, mereka mendiami daerah Bulo-Bulo, bagian dari wilayah Kecamatan Tenete Riaja. Kabupaten Barru, Propinsi Sulawesi Selatan.
SUKU BUGIS = Suku tersebut berpusat di Sulawesi Selatan. Suku ini mendiami sebelas Kabupaten, yaitu Kab. Bulukumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Sidenreng-Rappang, Powelai-Mamasa, Luwu, Pare-pare, Barru, Pangkajene, dan Maros.
SUKU CAMPALAGIAN = Nama lain dari suku ini adalah Tulumpanuae atau Tasing, dan biasa disebut oleh pemerintah suku Mandar. Namun mereka menyebut diri mereka orang Campalagian. Mereka tinggal di sekitar Kabupaten Majene, tepatnya di kota Campalagian dan Kab. Polewali-Mamasa (Polmas) serta di Kabupaten Mamuju sepanjang sungai Mandar.
SUKU DURI = Suku Duri terletak di pedalaman Sulawesi Selatan, mendiami wilayah Kabupaten Enrekang yang tersebar di lima kecamatan, yaitu Kec. Enrekang, Maiwa, Baraka, Anggareja dan Alia, yang berbatasan dengan Tanah Toraja. Mereka menggunakan bahasa dengan dialek khusus yaitu bahasa Duri.
SUKU ENREKANG = Suku Enrekang terletak di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, kurang lebih 259 Km dari kota Ujung Pandang .
SUKU KONJO PEGUNUNGAN = Suku ini mendiami hampir seluruh Kabupaten Gowa. Gowa bekas kerajaan yang menjadi obyek wisata, terletak sekitar 30 km dari Ujung Pandang .
SUKU KONJO PESISIR = Suku Konjo tinggal di Kabupaten Bulukumbu, kurang lebih 209 km dari kota Ujung Pandang , Propinsi Sulawesi Selatan. Nama lain suku ini adalah Kajang - merupakan perkampungan tradisional khas suku Konjo.
SUKU LUWU = Suku Luwu tinggal di Kabupaten Luwu dan sekitarnya.

SUKU MAIWA = Suku Maiwa merupakan salah satu suku di Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang.
SUKU MAKASAR = Wilayah suku Makasar berada di Kabupaten Takalar Jeneponto, Bantaeng, Selayar, Maros dan Pakajene. Pada umumnya kehidupan orang Makasar dan orang Bugis berbaur, dengan penduduk terletak di pesisir pantai dan Teluk Bone, serta di sekitar Gunung Lompobatang.
SUKU MAMUJU = Mamuju terletak di tepi pantai timur Sulawesi , terbentang dari arah selatan ke utara. Suku ini dialiri oleh beberapa sungai, seperti Hua, Karamu, Lumu, Budung-Budung.
SUKU MANDAR = Suku Mandar terletak di Kabupaten Majene, Propinsi Sulawesi Selatan.
SUKU TOALA'/PANNEI = Sumpang Bita adalah obyek wisata gua yang terdapat di Kab. Pangkep, Sulsel. Pada dinding gua Sumpang Bita itu terdapat bekas gambar telapak tangan, dan telapak kaki manusia, perahu, rusa dan babi hutan. Mungkin unsur-unsur ini menunjukkan gaya hidup orang Toala/Pannei zaman dulu. Konon sejak 5000 tahun yang lampau merupakan tempat hidup nenek moyang suku Toala/Pannei.
SUKU ULUMANDA = Masyarakat Ulumanda berada di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Suku ini merupakan salah satu anak suku Bungku.

PS :

- Konon kabarnya Suku Bentong adalah keturunan putra Raja Bone yang kawin dengan putri Raja Ternate.

- Berbicara tentang Makassar maka adalah identik pula dengan suku Bugis yang serumpun. Istilah Bugis dan Makassar adalah istilah yang diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah kedua etnis ini. (Wikipedia)

Semoga Bermanfaat

Wassalam
H.Muh. Nur Abdurrahman

Baca Artikel Selengkapnya..!
 
Oleh Fitriyani Akib pada pukul 10:07 AM | 15 tanggapan
BAGI Anda yang berasal dari daerah Sulawesi pasti Anda sudah mengenal Suku Bugis, tetapi bagi Anda yang berasal daerah lain apakah Anda mengetahui bahwa suku Bugis atau rumpun Bugis itu tidak hanya ada satu suku melainkan 14 suku rumpun Bugis. Suku-suku tersebut antara lain, Suku Bentong, Bugis, Campalagian, Duri, Enrekang, Konjo Pagunungan, Konjo Pesisir, Luwu, Maiwa, Suku Makassar, Mamuju, Mandar, Pannei dan Ulumanda.

Suku Bentong terletak di Propinsi Sulawesi Selatan, dengan populasi 25.000 jiwa, sementara suku Camaplagian terletak di Propinsi Sulawesi Selatan dengan populasi jiwa 30.000 jiwa, sementara suku Duri masih terletak di propinsi yang sama dengan populasi sebanyak 475 jiwa. Untuk suku Enrekang, masih di propinsi yang sama memiliki populasi 50.000 jiwa. Suku Konjo Pegunungan terletak di Propinsi Sulawesi Selatan, dengan populasi sebanyak 150.000 jiwa, untuk Konjo Pesisir jumlah populasi sebanyak 125.000 jiwa, sementara suku Luwu, mimiliki populasi 38.000 jiwa suku Maiwa memiliki pupulasi 50.000 jiwa, Suku Makassar memiliki populasi 2.240.000 jiwa, suku Mamuju berpopulasi 60.000 jiwa, suka Mandar berpopulasi 250.000 jiwa, suku Pannei berpopulasi 250.000 jiwa, suku Pannei memiliki 10.000 huwa dab suku Ulumanda memiliki 31.000 populasi,sementara suku Bugis sendiri yang masih terletak di Propinsi Sulawesi Selatan, yang memiliki populasi paling besar yaitu 3.800.000 jiwa.

Kebanyakan masyarakat dari Suku Bugis beragama Islam. Dari aspek budaya, suku bugis memiliki bahasa sendiri yang dikenal dengan sebutan `Bahasa Ugi`, yang memiliki tulisan huruf Bugis, yang diucapkan dengan bahasa Bugis sendiri. Huruf ini sudah ada sejak abad ke-12, ketika melebarnya pengaruh Hindu di Indonesia.

Suku Bugis ini suku yang gemar merantau. Jangan terkejut kalau mereka ada di propinsi maluku di Indonesia, baik di Jawa, Sumatera, Kalimantan, bahkan sampai ke Manca Negara, dalam hal ini Afrika Selatan.

Mungkin itu salah satu sebabnya mereka dikait-kaitkan dengan perahu pinisi, armada pelayaran rakyat, mungkin itu diambil dari salah satu kota yang pernah mereka singgahi, dalam hal ini negara Italia, dengan kotanya Venice. Suku Bugis biasanya mengabadikan nama-nama tempat yang penuh kenangan atau mempunyai kesan istimewa pada perahunya, mereka juga mengidentikan perahunya dengan sejenis ikan yang berenang sangat cepat di laut lepas. Berharap perahunya dapat berjalan/berlari secepat ikan tersebut sehingga banyak pula dari mereka yang menamakan perahunya dengan nama `Pinisi Palari`.

Salah satu kota di luar pulau Sulawesi yang dibangun oleh suku bugis adalah kota Samarinda. Daerah Samarinda terbentuk tatkala sekelompok suku Bugis dari Kerajaan Gowa datang ke Kalimantan Timur untuk mengabdikan diri pada Raja Kutai karena menentang perjanjian Bongaya dan Belanda. Kerajaan Kutai menerima kelompok penentang ini karena diperlukan untuk membantu kerajaan Kutai menentang Belanda. Mereka diijinkan bermukim di hilir Sungai Mahakam, yaitu di Samarinda Seberang, waktu kejadiannya diperkirakan pada tahun 1668.

Ada juga seorang professor yang memiliki teori yang menarik, yang mengatakan bahwa suku bugis berasal dari daerah Lampung, yang terdampar di Gowa (Sulawesi Selatan), setelah mereka lari karena diserang oleh musuh yang menurutnya datang dari India.

Suku Bugis dikenal sebagai masyarakat nelayan, mereka mencari kehidupannya dari laut, mereka mempertahankan hidup dari laut. Jadi sebagian besar masyarakat mereka adalah pelaut, jadi lagu `Nenek Moyangku Seorang Pelaut` cocok untuk mereka.

sumber : Rileks.com

Baca Artikel Selengkapnya..!
 
Oleh Fitriyani Akib pada pukul 8:56 AM | 1 tanggapan